Akhir-akhir ini terorisme dipandang sebagai musuh no. 1 di dunia. Sayangnya, aktivitas terorisme ini terkesan selalu dikaitkan dengan ajaran Islam. Ini bisa dilihat dari bagaimana media-media memberitakan kasus-kasus terorisme. Termasuk juga ada kecenderungan sikap aparat yang kurang tepat dalam menyikapi ormas-ormas dan tokoh-tokoh Islam. Pemerintah-pemerintahan dunia juga terbawa suasana dan akhirnya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyudutkan umat Islam, misalnya pelarangan penggunaan burqa/cadar, pengawasan ketat dan kecurigaan berlebihan terhadap umat Islam, pelarangan turis Muslim, dan lain sebagainya.
Dampaknya, di satu sisi islamfobia kian tumbuh subur. Terutama di Eropa, Amerika, termasuk mungkin di negeri sendiri,Indonesia, negara berpenduduk umat Islam terbesar dunia. Islamphobia yang semakin berkembang ini memungkinkan timbulnya intimidasi psikologis dan fisik, penghakiman (judgement) masyarakat yang membabi buta terhadap umat Islam, ketidak adilan tindakan aparat penegak hukum terhadap umat Islam. Ini memberi dorongan pada sejumlah kecil pemeluk Islam yang masih minim pemahaman ke-Islamannya akhirnya terjerumus dalam pemikiran-pemikiran yang mengarah pada radikalisme. Pada tingkat radikalisme yang parah, paham terorisme pada akhirnya akan mudah menjangkiti pemikiran seorang muslim.
Perlu diingat, bahwa Islam tidak mengajarkan terorisme. Terorisme didefinisikan sebagai upaya penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan-tujuan tertentu. Sementara Islam dalam mencapai tujuan dakwah, tidak mengenal upaya-upaya yang menimbulkan ketakutan apalagi kekerasan. Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam. Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Ibadah jihad merupakan salah satu ibadah umat Islam sering dihubung-hubungkan dengan aktivitas terorisme. Padahal, Jihad sebenarnya merupakan salah satu aktivitas ibadah dan dakwah umat Islam yang memiliki rukun-rukun dan syarat-syarat yang sangat ketat. Tidak bisa dilakukan serampangan. Pemahaman yang salah mengenai jihad merupakan faktor utama penyebab timbulnya terorisme yang mengatasnamakan Islam dan pada akhirnya mendorong penilaian yang salah masyarakat dunia terhadap Islam.
Aktivitas terorisme memiliki landasan yang dijadikan pembenaran dalam melakukan aksinya. Pada saat ini, yang sedang disorot dunia adalah aktivitas terorisme yang membawa-bawa nama dan ajaran Islam. Padahal kita bisa melihat sejarah kelam di masa lalu, dimana banyak juga kegiatan terorisme, genosida, peperangan yang membawa-bawa landasan-landasan lain sebagai pembenaran aktivitas kejamnya.
Bisa dikatakan bahwa terorisme adalah kesalahan pemikiran yang kemudian diaktualisasikan dalam perbuatan teror. Tidak tepat jika terorisme dikaitkan dengan cara berpakaian dan berpenampilan. Misalkan seorang muslimah yang bercadar atau seorang pria muslim yang berjenggot. Tidak tepat pula jika terorisme dikaitkan dengan ajaran umat Islam atau ajaran agama lainnya. Sekali lagi, terorisme adalah kesalahan pemahaman seseorang. Untuk itu, upaya memberantas paham terorisme haruslah dilakukan dengan menitikberatkan pada upaya menyadarkan pemikiran-pemikiran yang berpaham terorisme atau yang mengarah ke sana. Bukan dengan melakukan pelarangan-pelarangan hak ibadah seseorang sesuai keyakinannya.
Upaya memberantas terorisme yang menitikberatkan pada upaya yang berbau militer adalah tidak tepat. Kegiatan buru, sergap, tangkap, tembak mati di tempat, dan lain-lain tanpa ada klarifikasi yang dibuktikan secara kuat dan otentik akan menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Justru upaya ini akan mendorong munculnya tindakan-tindakan represif dari aparat, pemerintah, dan termasuk penghakiman prematur dari masyarakat, yang pada akhirnya mendorong paham terorisme justru semakin tumbuh subur terutama di tengah-tengah kaum/kelompok yang dizalimi, dimarjinalkan, dan terintimidasi. Pepatah lama mengatakan masyarakat seringkali secara tidak sadar menciptakan monster yang akan menghancurkan masyarakat itu sendiri.
Seharusnya, pendekatan melalui dialog dan kekeluargaan lebih diutamakan. Kelompok/badan yang menangani upaya pemberantasan terorisme haruslah berasal dari tokoh masyarakat, alim ulama, pemuka agama, dan kalangan intelektual yang dihormati di masyarakat. Setiap kali ditemukan adanya indikasi bahwa seseorang/kelompok terjangkit paham radikalisme atau terorisme maka sebaiknya dibangun dulu dialog dan diskusi baik secara terbuka ataupun tertutup. Jika upaya dialog dan diskusi tidak berhasil maka barulah upaya militer dilakukan.
Sebagai umat Islam kita harus lebih mengutamakan merujuk/mereferensi pada praktek-praktek yang dilakukan di masa Rasulullah dan Para Sahabat. Tercatat dalam sejarah, pendekatan melalui dialog seperti ini telah pernah dilakukan di era Sahabat Nabi, yakni oleh Ibnu Abbas Radiallahu Anhu, pada masa pemerintahan amirul mukminin Ali bin Abi Thalib.
Ali bin Abi Thalib mengirim Abdullah bin Abbas kepada orang-orang Khawarij untuk berdialog bersama mereka. Kisah dialog Ibnu Abbas ini dicatat oleh Imam Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya Talbis Iblis sebagai berikut:
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Orang-orang Khawarij memisahkan diri dari Ali radhiallahu ‘anhu, berkumpul di satu daerah untuk memberontak kepada khalifah. Ketika itu, jumlah mereka enam ribu orang.
Semenjak Khawarij berkumpul, setiap orang yang mengunjungi Ali radhiallahu ‘anhu berkata –mengingatkannya–, “Wahai Amirul Mukminin, orang-orang Khawarij telah berkumpul untuk memerangimu.”
Ali menjawab, “Biarkan saja, aku tidak akan memerangi mereka hingga mereka memerangiku, dan pasti mereka akan melakukannya.”
Hingga di suatu hari yang terik, saat masuk waktu dzuhur aku menjumpai Ali radhiallahu ‘anhu. Aku (Ibnu Abbas) berkata, “Wahai Amirul Mukminin, tunggulah cuaca dingin untuk shalat dzuhur, sepertinya aku akan mendatangi mereka (Khawarij) berdialog.”
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Wahai Ibnu Abbas, sungguh aku mengkhawatirkanmu!”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, janganlah kau khawatirkan diriku. Aku bukanlah orang yang berakhlak buruk dan aku tidak pernah menyakiti seorang pun.” Maka Ali pun mengizinkanku.
“Jubah terbaik dari Yaman segera kupakai, kurapikan rambutku, dan kulangkahkan kaki ini hingga masuk di barisan mereka di tengah siang.”
Ibnu Abbas radhiallahu‘anhuma berkata, “Aku benar-benar berada di tengah suatu kaum yang belum pernah kujumpai orang yang sangat bersemangat beribadah seperti mereka. Dahi-dahi mereka penuh luka bekas sujud, tangan-tangan menebal bak lutut-lutut unta (kapalan). Wajah-wajah mereka pucat pasi karena tidak tidur, menghabiskan malam untuk beribadah.”
Kuucapkan salam pada mereka. Serempak mereka menyambutku, “Selamat datang, wahai Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Apa gerangan yang membawamu kemari?”
Aku berkata, “Aku datang pada kalian sebagai perwakilan dari sahabat Muhajirin dan sahabat Anshar, dan juga dari sisi menantu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam (yakni Ali bin Abi Thalib), kepada para sahabat-lah Alquran diturunkan dan merekalah orang-orang yang paling mengerti makna Alquran daripada kalian.”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengingatkan tentang kedudukan sahabat Muhajirin dan Anshar dan bagaimana seharusnya prinsip seorang muslim dalam memahami Alquran dan sunnah yaitu mengembalikan kepada pemahaman sahabat yang kepada merekalah Alquran diturunkan, dan merekalah orang yang paling mengerti Alquran dan sunnah. Ibnu Abbas juga menegaskan besarnya kedudukan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di sisi Allah, yaitu menantu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Begitu mendengar ucapan Ibnu Abbas yang penuh makna dan merupakan prinsip hidup –yang tentunya tidak mereka sukai karena menyelisihi prinsip sesat mereka–,sebagian Khawarij memberi peringatan, “Jangan sekali-kali kalian berdebat dengan seorang Quraisy (yakni Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, pen.). Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
“Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (Az-Zukhruf: 58)
Ibnul Jauzi kembali melanjutkan kisah ini: Dua atau tiga orang dari mereka berkata, “Biarlah kami yang akan mendebatnya!”.
Ibnu Abbas berkata, “Wahai kaum, beri aku alasan, mengapa kalian membenci menantu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam beserta sahabat Muhajirin dan Anshar, padahal Alquran diturunkan kepada mereka, dan tidak ada seorang sahabat pun yang bersama kalian. Ali adalah orang yang paling mengerti tentang penafsiran Alquran.”
Mereka berkata, “Kami punya tiga alasan.”
Ibnu Abbas mengatakan, “Sebutkan (tiga alasan kalian).”
“Pertama, sungguh Ali telah menjadikan manusia sebagai hakim (pemutus perkara) dalam urusan Allah, padahal Allah berfirman,
“…Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah …” (Yusuf: 40)
Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan firman Allah Ta’ala. Kata mereka.
Ibnu Abbas menanggapi, “Ini alasan kalian yang pertama. Lalu apa lagi?”
Mereka melanjutkan, “Kedua, sesungguhnya Ali telah berperang dan membunuh, tapi mengapa tidak mau menawan dan mengambil ghanimah? Kalau mereka (orang-orang yang berperang melawan Ali) itu mukmin tentu tidak halal bagi kita memerangi dan membunuh mereka. Tidak halal pula tawanan-tawanannya.”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma bertanya lagi, “Lalu apa alasan kalian yang ketiga?”
Kata mereka, “Ketiga, dia telah menghapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya. Kalau dia bukan amirul mukminin (karena menghapus sebutan itu) berarti dia adalah amirul kafirin (pemimpin orang-orang kafir).”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Ada alasan selain ini?” Mereka berkata, “Cukup sudah bagi kami tiga perkara ini!”
Bantahan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma atas dangkalnya pemahaman Khawarij
Lihatlah, bagaimana Khawarij mudah memvonis kafir, dan memberontak sekalipun kepada khalifah ar-Rasyid yang penuh keutamaan dan kemuliaan. Alasan-alasan mereka adalah kerancuan yang sangat lemah dan menunjukkan kedangkalan mereka dalam memahami Alquran dan sunnah.
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mulai menanggapi, “Ucapan kalian bahwa Ali radhiallahu ‘anhu telah menjadikan manusia untuk memutuskan perkara (untuk mendamaikan persengketaan antara kaum muslimin -pen), sebagai jawabannya akan kubacakan ayat yang membatalkan kerancuan kalian. Jika ucapan kalian terbantah, maukah kalian kembali (kepada jalan yang benar)?”
Mereka menjawab, “Ya, tentu kami akan kembali.”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyerahkan sebagian hukum-Nya kepada keputusan manusia, seperti dalam menentukan harga kelinci (sebagai tebusan atas kelinci yang dibunuh saat ihram) Allah Subhanahu wa Ta’alal berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ ۚ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَٰلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ ۗ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan (hukum) dua orang yang adil di antara kamu, sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (QS. Al-Maidah: 95)
Demikian pula dalam perkara perempuan dan suaminya yang bersengketa, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyerahkan hukumnya kepada hukum (keputusan) manusia untuk mendamaikan antara keduanya. Allah Ta’alaberfirman,
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal.” (QS. An-Nisa: 35)
Demi Allah, jawablah, apakah diutusnya seorang manusia untuk mendamaikan hubungan mereka dan mencegah pertumpahan darah di antara mereka lebih pantas untuk dilakukan, atau hukum manusia perihal darah seekor kelinci dan urusan pernikahan wanita? Menurut kalian manakah yang lebih pantas?”
Mereka katakana, “Inilah (yakni mengutus manusia untuk mendamaikan manusia dari pertumpahan darah) yang lebih pantas.”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Apakah kalian telah memahami masalah pertama?” Mereka berkata, “Ya.”
Ibnu Abbas melanjutkan, “Adapun ucapan kalian bahwa Ali radhiallahu ‘anhu telah berperang tapi tidak mau mengambil ghanimah dari yang diperangi dan tidak menjadikan mereka sebagai tawanan, sungguh (dalam alasan kedua ini) kalian telah mencerca ibu kalian (yakni Aisyah).
Demi Allah! Kalau kalian katakan bahwa Aisyah bukan ibu kita, kalian telah keluar dari Islam (karena mengingkari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala). Demikian pula kalau kalian menjadikan Aisyah sebagai tawanan perang dan menganggapnya halal sebagaimana tawanan lainnya (sebagaimana layaknya orang-orang kafir), maka kalian pun keluar dari Islam. Sesungguhnya kalian berada di antara dua kesesatan, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
النَّبِيُّ أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ۖ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ ۗ
“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.” (QS. Al-Ahzab: 6)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Apakah kalian telah memahami masalah ini?”
Mereka menjawab, “Ya.”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata lagi, “Adapun ucapan kalian bahwasanya Ali telah menghapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya, maka (sebagai jawabannya) aku akan kisahkan kepada kalian tentang seorang yang kalian ridhai, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketahuilah, bahwasanya beliau di hari Hudaibiyah (6 H) melakukan shulh (perjanjian damai) dengan orang-orang musyrikin, Abu Sufyan dan Suhail bin Amr. Tahukah kalian apa yang terjadi?
Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ali, “Wahai Ali, tulislah perjanjian untuk mereka.” Ali menulis, “Inilah perjanjian antara Muhammad Rasulullah…”
Orang-orang musyrik berkata, “Demi Allah! Kami tidak tahu kalau engkau rasul Allah. Kalau kami mengakui engkau sebagai utusan Allah tentu kami tidak akan memerangimu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allah , sungguh engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasulullah. Wahai Ali, tulislah ‘Ini adalah perjanjian antara Muhammad bin Abdilah…’.” (Rasulullah memerintahkan Ali untukmenghapus sebutan Rasulullah dalam perjanjian, pen.)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Demi Allah, sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mulia dari Ali, meskipun demikian beliau menghapuskan sebutan rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyah…” (Apakah dengan perintah Rasul menghapuskan kata rasulullah dalam perjanjian kemudian kalian mengingkari kerasulan beliau? Sebagaimana kalian ingkari keislaman Ali karena menghapus sebutan Amirul Mukminin?)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Maka kembalilah dua ribu orang dari mereka, sementara lainnya tetap memberontak (dan berada di atas kesesatan), hingga mereka diperangi dalam sebuah peperangan besar (yakni perang Nahrawan).”
Demikian tiga kerancuan pola pikir Khawarij yang mereka jadikan sebagai alasan memberontak dan memerangi Ali radhiallahu ‘anhu. Semua kerancuan tersebut terbantah dalam dialog mereka dengan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Maka selamatlah mereka yang mau mendengar sahabat dan menjadikan mereka sebagai rujukan dalam memahami Alquran dan sunnah.