Rabu, 17 Januari 2018

KETAHANAN LINGKUNGAN


Ketahanan Lingkungan merupakan upaya menjamin keamanan publik secara proporsional dari bahaya-bahaya lingkungan yang diakibatkan oleh proses-proses alamiah atau buatan-manusia, karena keteledoran, kecelakaan, salah-kelola, atau kesengajaan. Ketahanan lingkungan merupakan bagian dari ketahanan nasional. Ketahanan lingkungan mengkaji ancaman akibat kejadian lingkungan, kecenderungan ketahanan nasional dan unsur-unsur kekuatan nasional .

Hubungan antara lingkungan dan keamanan telah dipertimbangkan sejak tahun 1980-an oleh dua kelompok: (1) komunitas kebijakan lingkungan, yang mengajukan implikasi-implikasi keamanan dari perubahan dan keamanan lingkungan, dan (2) komunitas keamanan, yang melihat definisi baru keamanan nasional (national security) khususnya pada era setelah perang dingin .

Selanjutnya isu-isu ini diakui sebagai elemen yang memberi dampak secara global, sebagai contoh perubahan lingkungan, menipisnya lapisan ozon dan polusi, yang kesemuanya memiliki implikasi-implikasi terhadap keamanan. Hal ini juga mengubah paradigma otoritas militer untuk mengevaluasi kembali dimensi keamanan dari isu-isu lingkungan.

Keamanan, secara tradisional dilihat sebagai sinonim dari keamanan nasional dengan dua tujuan utama : (1) untuk menjaga integritas teritorial dari negara dan (2) untuk memelihara bentuk pemerintahan yang dipilih, melalui alat-alat politik maupun militer.

Ketika ilmuwan politik mengambil aspek lingkungan sebagai bagian dari keamanan, maka dampak-dampak lingkungan didefinisikan sebagai bagian dari isu keamanan nasional. Pendekatan ini mencoba mendefinisikan ulang konsep keamanan nasional secara menyeluruh. Di awal tahun 1980-an Independent Commission on Security and Disarmament Issues (ICSDI) mengembangkan dan memperkenalkan konsep keamanan nasional secara lazim, yang memberikan pandangan yang lebih luas kepada keamanan nasional.

The World Commission on Environment and Development menghubungkan secara jelas keamanan nasional dan lingkungan pada Brundtland Report tahun 1987 : “Umat manusia menghadapi dua ancaman besar. Pertama adalah perang nuklir. Marilah berharap bahwa hal ini akan tetap memiliki harapan berhasil yang semakin menurun di masa mendatang. Kedua adalah runtuhnya aspek lingkungan di seluruh dunia dan jauh dari menjadi harapan berhasil di masa mendatang, ini adalah fakta saat ini.”

Mengikuti hal yang dilakukan The World Commission on Environment and Development – PBB, the General Assembly (Majelis Umum) PBB secara resmi juga memperkenalkan konsep keamanan nasional dan lingkungan pada Sesi ke-42. Dewasa ini, keamanan lingkungan telah dipahami secara ekstensif (luas), termasuk aspek manusia, fisik, sosial, dan kesejahteraan/kesehatan ekonomi. Hal ini menyebabkan intepretasi dan menentukan batasan terhadap keamanan lingkungan semakin sulit. (Fourth UNEP Global Training Programme on Environmental Law and Policy). Saat ini, belum ada persetujuan umum pada kejelasan definisi keamanan lingkungan. Jangkauan isu ini dibatasi pada bagaimana dampak-dampak lingkungan dapat mempengaruhi terjadinya konflik, dibandingkan keamanan itu sendiri.

Ketahanan lingkungan (environmental sustainability) semakin menjadi isu yang penting di tengah semakin menurunnya kualitas lingkungan. Polusi dan pencemaran lingkungan, pembangunan perkotaan dan industrialisasi, limbah, penggundulan hutan, dan beberapa aktivitas manusia lainnya terhadap lingkungan semakin membuat ketidakseimbangan alam yang memicu munculnya potensi yang menggangu kehidupan manusia dan lingkungan hidup.

Hal ini juga dikaitkan dengan isu perubahan iklim dan pemanasan global. Pemanasan global diakibatkan emisi gas rumah kaca yang dapat membuat suhu permukaan bumi semakin hangat. Semakin hangatnya suhu permukaan bumi menyebabkan sejumlah stok es di kutub mencair, lalu dapat meningkatkan tinggi permukaan air laut.

Hal ini berpotensi menenggelamkan sejumlah wilayah padat penduduk di permukaan bumi. Pemanasan global juga menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang mendorong semakin sering terjadinya bencana alam seperti badai dan tsunami, banjir, dan kekeringan. Hal ini berarti dapat mengancam eksistensi mahluk hidup, termasuk manusia, sehingga isu ini semakin menjadi isu di tingkat global.

Salah satu ancaman ketahanan lingkungan adalah semakin berkurangnya luas hutan dan wilayah tutupan hijau vegetasi tanaman. Hal ini diakibatkan oleh meluasnya pembukaan lahan pertanian, peningkatan aktivitas pertambangan dan industri, serta semakin meningkatnya populasi manusia yang mendorong perluasan wilayah perkotaan dan pemukiman penduduk. Padahal seperti telah dipahami bersama bahwa hutan atau tutupan hijau vegetasi tanaman merupakan paru-paru alami dunia. Emisi dari pembakaran fosil dan aktivitas industri semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dipadukan dengan penggundulan hutan (deforestation) yang juga semakin meningkat. Perpaduan hal ini memicu perubahan iklim dunia menjadi lebih panas.

Keberadaan vegetasi tanaman merupakan indikasi tanah yang subur dan menyimpan sumber air tanah. Melalui proses fotosintesis, tamanan menyerap CO2 yang merupakan salah satu jenis gas rumah kaca, dan kemudian dari proses tersebut tumbuhan memproduksi oksigen yang dibutuhkan oleh hewan dan manusia. Dengan demikian semakin berkurangnya wilayah vegetasi tanaman berarti semakin mengurangi sarana alami penyerap CO2 dan penyimpanan air tanah. Ini berarti upaya menjaga kelestarian vegetasi tanaman merupakan upaya yang secara langsung menjaga ketahanan lingkungan, selain upaya mengendalikan dan mengurangi emisi.

REFERENSI :
  1. USLegal.com, “Environemtnal Security Law & Legal Definition”, dalam http://definitions.uslegal.com/e/environmental-security/ dikunjungi 9 Mei 2016
  2. Andree Kirchner, 1999, “Environmental Security”, Fourth UNEP Global Training Programme on Environmental Law and Policy hal. 1


Selasa, 16 Januari 2018

HUBUNGAN ENERGY SECURITY DENGAN SOSIAL POLITIK


Semakin lama energi semakin menjadi kebutuhan penting bagi masyarakat dunia di berbagai sektor. Mulai dari rumah tangga, transportasi, industri, komersial, dan lain-lain. Bahkan di negara dengan tingkat kemiskinan tinggi pun, energi telah semakin menjadi kebutuhan yang mendesak selain pangan. Aspek sosial telah sedemikian terintegrasi dengan kebutuhan akan energi. Setiap isu energi berpotensi mempengaruhi isu sosial. Gejolak energi juga dapat memicu gejolak sosial.

Contohnya saja program subsidi bahan bakar minyak dan gas LPG di Indonesia. Setiap ada wacana pencabutan subsidi energi atau sekedar pengurangan subsidi, selalu saja hal ini menjadi sumber gejolak di tengah masyarakat. Apalagi ketika motif-motif politik masuk ke dalamnya. Masyarakat umum memahami bahwa pencabutan subsidi berarti akan memicu kenaikan harga bahan bakar yang kemudian akan memicu juga naiknya harga komoditas pokok masyarakat.

Akibatnya ada kecenderungan pemerintah untuk selalu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang populer yang biasanya lebih mengedepankan tujuan untuk “menyenangkan dan menenangkan” rakyat. Pertimbangan rasionalitas terhadap permasalahan yang sebenarnya terjadi akhirnya mendapat porsi yang sedikit. Padahal sebenarnya pemberian subsidi pada BBM menjadi beban yang cukup besar dalam anggaran negara. Pemberian subsidi ini sebenarnya juga cenderung mempengaruhi perilaku dan budaya masyarakat untuk semakin tidak efisien dalam penggunaan BBM. Memang benar, ini merupakan tindakan wajar dilakukan terutama oleh negara-negara berkembang yang sedang mempertahankan stabilitas nasionalnya. Namun seiring berjalannya waktu perlu upaya-upaya bertahap untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan sekaligus mengurangi subsidi.

Masalah sosial juga bisa timbul karena masalah yang bersifat lokal. Misalnya sebuah perusahaan membuka operasi produksi atau pengolahan energi di suatu daerah yang kurang berkembang. Karena perusahaan tersebut kekurangan tenaga terlatih lokal maka akhirnya cenderung untuk lebih banyak menggunakan tenaga dari luar daerah. Hal ini kemudian berpotensi menimbulkan konflik antara penduduk lokal (dan kadang dengan pemerintah daerah) dengan para pendatang. Contoh konflik umum yang biasanya terjadi adalah demonstrasi penolakan, pemogokan, blokade, bahkan pada beberapa kasus terjadi pendudukan paksa kegiatan usaha yang mempengaruhi kegiatan produksi. Peristiwa seperti ini tentunya akan sangat mempengaruhi upaya penyediaan energi.

Dalam lingkup sosial global, kita bisa melihat konflik-konflik terjadi salah satu diantaranya adalah karena konflik penguasaan sumber-sumber energi dan pengamanan terhadap pangsa pasar. Sumber energi yang paling besar memberi pengaruh terhadap hal ini adalah minyak. Hal ini bisa kita amati misalkan di timur tengah. Semenjak masih tergantungnya pendapatan negara-negara timur tengah pada sektor minyak, maka ada kecenderungan konflik akan terus terjadi di wilayah tersebut.

Senin, 15 Januari 2018

BATUBARA DAN ENERGY SECURITY


Tidak seperti halnya minyak bumi, batubara merupakan komoditas yang cenderung bersifat domestik. Sekitar 85% batubara dunia dikonsumsi di negara yang sama dimana batubara tersebut ditambang. Pasar domestik tidak terlalu terpengaruh harga internasional. Harga batubara dapat bervariasi secara signifikan karena faktor kualitas, geografi, kontrak, dan regulasi. Selain itu perbedaan tipe batubara dan kondisi pembelian, termasuk waktu dan titik serah, membuat lebih banyak lagi variasi harga.

Sistem transportasi dan pendistribusian batubara akan tergantung pada jarak dan moda transportasi yang digunakan. Transportasi batubara umumnya diangkut dengan konveyor atau truk pada jarak pendek. Kereta api dan tongkang digunakan untuk jarak yang lebih jauh dalam lingkup domestik. Batubara juga dapat dicampur air untuk membentuk adonan batubara dan kemudian ditransportasikan melalui jalur pipa. Kapal umumnya digunakan untuk transportasi batubara internasional. Harga batubara sebagian besarnya dipengaruhi oleh biaya transportasi. Akan tetapi, secara bentuk fisik, batubara sebenarnya mudah ditransportasikan dan disimpan.

Secara umum, pasar geografis batubara cukup terintegrasi, dimana biaya transportasi dengan kapal jauh lebih rendah dibandingkan LNG. Namun demikian, terdapat perbedaan harga di wilayah impor dan ekspor yang berbeda. Batubara yang diangkut dengan kapal, biaya pengangkutan masih merupakan faktor yang secara signifikan mempengaruhi harga batubara, begitu juga asuransi. Oleh karena itu, persyaratan-persyaratan jual beli seperti free-on-board (FOB), cost insurance freight (CIF) atau cost freight (CFR) berpengaruh terhadap harga.

Dari sisi penggunaan, batubara digunakan sebagian besarnya sebagai bahan bakar pembangkit listrik dan juga bahan baku industri (misal industri semen, pulp & paper, tekstil, pengecoran logam, dll). Tidak seperti halnya minyak bumi yang 60% produksi dunianya digunakan sebagai bahan bakar transportasi. Di era terdahulu, terutama di awal revolusi industri, batubara memang sempat digunakan sebagai bahan bakar transportasi seperti kereta api dan kapal laut, termasuk kapal perang. Namun tidak berlangsung lama, karena adanya penemuan penggunaan minyak bumi pada mesin diesel serta mesin bensin. Bahkan penggunaan batubara dunia sempat jatuh ke level terendah hingga pada akhirnya dilirik kembali ketika terjadi krisis minyak tahun 1970-an.

Dari sini dapat dikatakan bahwa di era ini, penggunaan batubara tidak lagi bersentuhan langsung dengan semua level sosial masyarakat secara umum. Batubara digunakan dalam sektor terbatas hanya pada fasilitas pembangkit listrik dan industri pemakainya. Termasuk juga dalam peralatan militer, hampir tidak ada peralatan militer modern yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar. Karenanya, batubara hampir pasti tidak bisa dijadikan latar belakang aksi-aksi militer untuk memperebutkannya.

Sekali lagi, hal ini karena batubara cenderung digunakan secara domestik, dan penggunaannya yang cukup terbatas hanya pada pembangkitan listrik dan industri pemakai yang spesifik. Upaya mentransportasikan batubara ke tempat yang relatif jauh juga membutuhkan upaya yang besar dari sisi biaya transportasinya. Sebagian besar harga batubara dipengaruhi oleh biaya transportasinya. Berhubung sifat batubara yang demikian, maka pengaruhnya terhadap energy security juga minim.

Akan tetapi, semenjak begitu murahnya harga batubara dan telah menjadi sumber energi yang paling banyak digunakan untuk membangkitkan listrik, maka upaya pengalihan ke energi alternatif (seperti gas, energi terbarukan, nuklir) akan membutuhkan upaya-upaya yang tidak mudah. Alasan harga batubara yang relatif murah seringkali menjadi kendala bagi pengusaha dan pemerintah untuk pengembangan sumber energi pembangkit listrik lain. Merubah sumber pembangkit energi listrik dari batubara ke sumber energi lain, berarti menaikkan juga harga listrik. Di negara-negara berkembang yang sedang memperjuangkan harga energi yang terjangkau, isu kenaikan tarif listrik seringkali masih menjadi polemik sosial. Di sisi lain, batubara juga terus mendapat tekanan. Baik dari para aktivis lingkungan, regulasi, komitmen internasional, serta termasuk para politisi dan yang pro lingkungan, karena batubara merupakan sumber energi dengan emisi tertinggi.

Ironi pengelolaan batubara di Indonesia adalah walaupun cadangan batubara Indonesia hanya sebesar 3% dari cadangan dunia (0,8 % menurut BP Statistical Review) namun Indonesia merupakan pengekspor batubara terbesar dunia. Pada tahun 2013, sekitar 73% (79,5% menurut DEN, 2014) dari total produksi batubara nasional diekspor ke luar negeri. (BPPT, 2014; DEN, 2014). Hal ini menunjukkan batubara masih lebih cenderung digunakan sebagai komoditas untuk dijual (diekspor) daripada dimanfaatkan secara maksimal di dalam negeri.