Perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (Land use change and forestry) merupakan penyumbang emisi karbon terbesar kedua setelah sektor industri, yaitu menyumbang sekitar 15-20% dari total emisi dunia. Pada umumnya terdapat 3 (tiga) kategori mitigasi perubahan iklim untuk sektor kehutanan, yaitu peningkatan manajemen hutan, Aforestasi/Reforestasi, dan menghindari penebangan hutan dan degradasi hutan (REDD). Dari ketiga kategori tersebut, REDD mempunyai potensi pengurangan emisi karbon yang paling besar .
Melalui mekanisme CDM (yang notabene satu-satunya mekanisme yang melibatkan negara berkembang dalam Protokol Kyoto), sektor kehutanan dapat berperan melalui proyek Aforestasi/Reforestasi (A/R CDM).
Aforestasi adalah upaya menghutankan areal yang pada masa 50 tahun lalu bukan merupakan hutan. Sedangkan reforestasi adalah upaya menghutankan kembali areal yang dulunya pernah menjadi hutan (dalam hal ini ditetapkan lahan yang sejak 31 Desember 1989 bukan berupa hutan termasuk kategori ini). Namun demikian, proyek-proyek A/R CDM sampai saat ini hanya sebesar 0.29% dari total proyek CDM yang ditransaksikan (data Juli 2009).
Pasar CDM didominasi oleh proyek-proyek industri energi 56%, disusul oleh proyek-proyek dibidang penanganan limbah/sampah 17%, fugitive emission of fuels (6%), pertanian (5%), dan industri manufaktur (4,8%). Dalam skema voluntary, prosentase proyek sektor kehutanan lebih besar yaitu sekitar 14.5% dari total nilai transaksi perdagangan karbon voluntary. Proyek kehutanan dalam skema voluntary diantaranya juga berupa proyek-proyek yang bersifat avoided deforestation.
Pasar karbon sektor Kehutanan kemungkinan besar akan bertambah besar terkait dengan isu REDD. Reduction Emission from Deforestation and Degradation (REDD) yang kemungkinan besar akan diadopsi dalam COP di Kopenhagen Denmark tahun 2012 mendatang, akan memperluas prospek sektor kehutanan dalam perdagangan karbon. Deforestasi sebagian besar disumbang oleh negara-negara berkembang dan setengahnya dilakukan oleh 2 negara yaitu Brasil dan Indonesia. Mengurangi deforestasi dan degradasi hutan berarti mengurangi emisi.
Dalam perkembangan selanjutnya, isu pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi mendapat kerangka hukum awal dalam CoP 13 di Bali, 2007. Keputusan Bali, disebut dengan Bali Action Plan (BAP), antara lain memberi dasar hukum pengembangan skema dan proyek percontohan REDD saat ini. Pada COP 14 di Poznan, REDD yang ditetapkan dalam BAP paragraf 1 b (iii) dipertegas tidak hanya meliputi deforestasi dan degradasi tetapi juga mencakup konservasi, SFM, aforestasi dan reforestasi yang menjadi bagian dari skema CDM. Perkembangan ini kerap disebut REDD+.
Sama seperti perdebatan REDD, dalam REDD+ isu yang tetap diperdebatkan adalah cakupan. Namun beberapa isu lain yang muncul adalah cara perhitungan dengan pendekatan nett dan gross, konsep sustainable forest management dan persoalan tropical hot air .
Kompleksitas proses-proses ilmiah yang terjadi dalam hutan menjadikan persoalan rinci mengenai peran hutan dalam perubahan iklim banyak menimbulkan perdebatan di kalangan para pakar, bagaimana memasukkan peran hutan dalam kesepakatan negosiasi isu perubahan iklim khususnya dalam skema REDD+. Ini terlihat dari perkembangan sejak masuknya kegiatan Aforestasi (Afforestation) dan Reforestasi (Reforestation) dalam Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM) pada COP ke 3 tahun 1997 di Tokyo, Jepang dan kemudian dalam pertemuan COP ke 11 di Montreal, Kanada tahun 2005 dengan konsep RED (satu D), yang berkembang menjadi REDD (dua D) di COP 13 di Bali, Indonesia, dan akhirnya REDD+ (dengan Plus, masuknya SFM, konservasi, dan peningkatan simpanan karbon) yang baru diterima dan disahkan pada pertemuan COP ke 16 di Cancun, Meksiko.
Tidak hanya sampai di situ, bahkan pada pertemuan COP 18 tahun 2012 di Doha, Qatar masalah metodologi terkait Measurement, Reporting, and Verification (MRV), dan Safeguard untuk REDD+ masih menjadi isu yang belum disepakati sehingga persoalan komitmen pendanaan REDD+ ikut terpengaruh dan kemudian menjadi topik yang terus berkembang tanpa kesepakatan. Namun demikian konsep dasar REDD+ sebenarnya telah disepakati sebagaimana hasil pertemuan di Bali tahun 2007.
Pada prinsipnya konsep REDD+ mengacu kepada dua aspek kegiatan yaitu :
- Pengembangan mekanisme memberi imbalan pada negara berkembang yang mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, konservasi, SFM, aforestasi dan reforestasi;
- Kegiatan persiapan yang membantu negara-negara untuk mulai berpartisipasi dalam mekanisme REDD+.
REFERENSI :
- McKinsey Company, 2009; dalam Kardono, 2010, hal. 4
- NRDC, 2013, Modul Konsep REDD+ dan Implementasinya, Natural Resources Development Center, The Nature Conservancy Program Terestrial Indonesia, Jakarta November 2013, hal. 11
- NRDC, 2013, hal. 13