Sabtu, 25 November 2017

PERILAKU KONSUMEN MEMPENGARUHI PENGGUNAAN ENERGI MASA DEPAN


Telah berlalu sekitar 1 abad sejak umat manusia mengeksploitasi sumber-sumber energi fosil (batubara, minyak dan gas bumi) secara masif. Penemuan mesin uap mendorong penggunaan batu bara secara besar-besaran. Hal ini mendorong revolusi industri. Terjadi urbanisasi dari desa ke kota. Tak lama kemudian, setelah kendaraan berbahan bakar minyak (bensin dan diesel) dapat diproduksi secara massal dan semakin ekonomis, maka eksploitasi terhadap sumber-sumber minyak bumi semakin gencar. Gas bumi/alam baru termanfaatkan belakangan dalam jumlah besar, seiring dengan perkembangan teknologi pemprosesan dan transportasi gas alam yang semakin canggih dan ekonomis.

Selanjutnya, di era kini, mulai muncul isu-isu terkait lingkungan. Penggunaan bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi gas rumah kaca, dalam hal ini CO2, ditengarai merupakan penyebab utama terjadinya perubahan iklim dan degradasi lingkungan. Indikator-indikator yang biasanya diangkat adalah kualitas udara yang semakin menurun di perkotaan dan daerah industri, mencairnya es di kutub utara dan selatan, naiknya permukaan air laut, terbentuknya lubang pada lapisan ozon, bencana alam yang semakin sering terjadi, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, penggunaan energi fosil dianggap sebagai ancaman bagi kelestarian lingkungan di masa depan.

Isu-isu tersebut memberi dorongan untuk beralih ke energi terbarukan. Maka teknologi energi terbarukan diperkenalkan, walau harganya masih relatif jauh lebih tinggi dari energi fosil. Pemerintah-pemerintah dunia semakin marak berpartisipasi dalam program-program berkenaan dengan perlindungan lingkungan. Perusahaan-perusahaan migas didorong untuk semakin menurunkan tingkat emisinya dan semakin efisien. Manufaktur-manufaktur kendaraan dan mesin didorong untuk mengeluarkan varian kendaraan dan alat yang menggunakan energi non fosil. Proyek-proyek energi terbarukan diberi insentif-insentif untuk semakin menarik minat investor.

Walaupun demikian, dalam praktek dan kenyataannya, upaya-upaya beralih ke penggunaan energi terbarukan ini dinilai masih sangat lambat. Mahalnya biaya teknologi energi terbarukan dan kurangnya fleksibilitas (karena sangat tergantung pada kondisi alam dan mahalnya investasi untuk penyimapan energi) seringkali menjadi alasan keengganan perubahan perilaku di sisi pengusaha energi dan manufaktur dan termasuk juga para pengambil kebijakan. Pada akhirnya, target-target kebijakan lingkungan dan komitmen-komitmen lingkungan tidak mampu tercapai dan terkesan hanya menjadi komoditas politik belaka.

Namun berbeda halnya pada sektor end user (pengguna akhir) energi. Kita bisa melihat akhir-akhir ini semakin banyak muncul tokoh-tokoh futuris yang menyuarakan perubahan. Mereka memperkenalkan teknologi-teknologi masa depan yang terlihat keren, membuat hidup semakin praktis, dengan harga semakin terjangkau. Seolah membuat nyata teknologi-teknologi yang selama ini hanya ada di kisah science fiction (fiksi ilmiah). Mereka terus berinovasi tiada henti. Di satu sisi membuat orang-orang tercengang. Di sisi lain membuat deg-degan para pelaku industri & bisnis eksisting karena adanya kemungkinan perubahan radikal dalam proses bisnis eksisiting sebagai akibat masuknya teknologi-teknologi baru yang mereka perkenalkan.

Ada kendaraan listrik, kendaraan tanpa pengemudi, robot, kecerdasan buatan (artificial intelligence), virtual & augmented reality, internet of things, cloud & big data, dll. Pengenalan teknologi-teknologi tersebut menuntut semua aktivitas manusia untuk berubah mengikuti tren teknologi yang digandrungi masyarakat.

Tenaga-tenaga manusia/manual ssuatu saat mungkin dapat digantikan oleh tenaga robot dan artificial intelligence. Tuntutan proses produksi agar semakin efisien akan menyebabkan perusahaan dan pabrik semakin gencar memanfaatkan teknologi-teknologi canggih dan otomatisasi. Hal ini mendorong pengurangan peranan dan jumlah tenaga manusia yang dipekerjakan. Akan tetapi ruang-ruang lapangan kerja baru mungkin juga dapat tercipta dan secara perlahan memaksa masyarakat masa depan beralih ke bidang-bidang pekerjaan baru yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya.

Perkembangan teknologi-teknologi baru tersebut, sangat memungkinkan mendorong terjadinya perubahan perilaku konsumen (end user). Dan perubahan prilaku konsumen inilah yang nantinya mendorong secara masif para produsen dan pelaku bisnis untuk mengikuti dan menyesuaikan kebutuhan konsumen dengan paradigma baru tersebut. Contohnya saja pada pengenalan smartphone layar sentuh. Para produsen awalnya belum ada yang berani mengeluarkan produk smartphone dengan layar sentuh. Namun ketika ada salah satu produsen mengeluarkan produk handphone layar sentuh dan sukses di pasaran, maka kemudian hampir semua produsen smartphone langsung mengeluarkan produk-produk smarphone layar sentuh.

Sementara itu, dalam komunitas konsumen energi, juga sangat memungkinkan mengalami perubahan. Mungkin saja, konsumen di masa depan akan lebih memilih penggunaan kendaraan listrik untuk menggantikan kendaraan berbahan bakar fosil, karena dianggap lebih keren, lebih murah, lebih sehat, tidak berisik, lebih murah ongkos perawatan, dan pertimbangan lainnya. Ibu rumah tangga juga mungkin akan lebih memilih kompor listrik ketika kompor listrik harganya lebih murah, dan biaya bulanannya lebih murah, dan mungkin juga dianggap lebih keren dari kompor gas LPG, lebih prestisius. Industri pengguna energi mungkin saja juga akan lebih banyak menggunakan alat-alat canggih yang menggunakan teknologi komputer cerdas. Misalkan sistem otomatisasi pabrik, robot, artificial intelligent, 3D printer, dan lain-lain. Hal ini karena tuntutan pasar yang memaksa mereka untuk beroperasi secara lebih praktis, efisien, aman (safe), memenuhi regulasi lingkungan, dan alasan lainnya. Bisa saja dorongan perubahan perilaku konsumen bukan lagi disebabkan oleh faktor harga yang lebih murah. Konsumen masa depan bisa saja bersedia membayar lebih mahal demi memenuhi tuntutan paradigma masyarakat baru. Semuanya serba memungkinkan terjadi di masa depan.

Perubahan-perubahan yang dipacu penggunaan teknologi-teknologi baru tersebut memang tidak menentu. Banyak prediksi, proyeksi, dan spekulasi. Namun satu hal yang kemungkinan pasti, bahwa penggunaan teknologi-teknologi baru tersebut mengindikasikan kebutuhan energi listrik yang semakin besar di masa depan. Teknologi-teknologi masa depan semakin tergantung pada energi listrik untuk dapat beroperasi. Hal yang menjadi pertanyaan adalah darimanakah umat manusia di masa depan menghasilkan energi listrik dalam jumlah besar, stabil, dan murah. Seperti diketahui bersama, energi listrik harus dihasilkan/dibangkitkan dari sumber energi lain. Bisa dari energi fosil (minyak bumi, batubara, dan gas alam), bisa juga dari energi terbarukan, dan bisa dari energi baru (misal nuklir).

Konsumen energi yang semakin tergantung pada teknologi-teknologi bertenaga listrik tersebut, akan sangat berperan dalam pola penggunaan energi di masa depan. Tentu saja hal ini juga akan mendorong inovasi-inovasi teknologi pembangkitan energi listrik secara cepat. Teknologi batere bisa semakin murah dan canggih dan lifetime (umur pakai) lebih panjang. Teknologi energi terbarukan bisa saja semakin ekonomis dan fleksibel dan terintegrasi dengan teknologi penyimpanan energi yang murah dan canggih serta terhubung secara lancar dengan jaringan listrik pintar. Teknologi energi nuklir mungkin saja semakin aman dan murah. Dan mungkin juga, teknologi pembangkit listrik dari energi fosil juga akan ikut berbenah dan semakin mampu memenuhi tuntutan kebijakan lingkungan, semakin efisien dan semakin murah.

Semua sumber energi tersebut, baik energi fosil, energi terbarukan, dan energi baru, akan berkompetisi semakin ketat. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan energi di end user yang semakin banyak dimanjakan teknologi-teknologi baru yang semakin tergantung pada tenaga listrik. Perilaku konsumen dalam menyikapi kehadiran teknologi-teknologi baru tersebut akan mempengaruhi pola penggunaan energi di masa depan.

Jumat, 24 November 2017

HUBUNGAN ENERGY SECURITY DENGAN PERUBAHAN IKLIM SERTA LINGKUNGAN (2)


Pendekatan “holistik” antara perubahan iklim dengan keamanan energi, secara narasi adalah: “Pertumbuhan penggunaan energi oleh manusia yang berasal dari bahan bakar fosil menyebabkan pemanasan global”. Oleh sebab itu perubahan iklim harus diakui sebagai sebuah masalah keamanan internasional. (World Economic Forum, 2012).

Dengan demikian narasi holistik (menyeluruh) tadi menjadi berlanjut, yaitu bahwa perubahan iklim tidak hanya sekedar sebuah ancaman terhadap keamanan global melainkan juga sebuah “pelipat ganda” ancaman, dalam kaitannya dengan keamanan energi. Berangkat dari contoh kasus “migrasi masal pengungsi untuk berlindung dari bencana ekologi dapat mendestabilisasi wilayah-wilayah di dunia”, solusi terhadap perubahan iklim harus merupakan bagian dan paket dari strategi keamanan energi nasional dan internasional. (World Economic Forum, 2012).

Jika ada ketidaknyamanan kebenaran yang terkait dengan sistem energi yang ada, hal itu disebabkan masyarakat tidak bisa menyuarakan perubahan iklim dan keamanan energi secara serentak. Sebaliknya, terlalu banyak memberikan penekanan terhadap salah satunya maka akan memperparah yang lain. Pernyataan ini tidak untuk mengatakan bahwa tidak ada kebijakan maupun teknologi yang dapat menyatakan keduanya. Efisiensi, konservasi, dan pemanfaatan teknologi bersih secara umum bermanfaat untuk menurunkan emisi CO2 maupun meningkatkan keamanan energi secara serempak. (World Economic Forum, 2012).

Secara teknis, upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi perubahan iklim dapat dilakukan melalui pengurangan konsumsi bahan bakar fosil, baik dengan penghematan dan konservasi energi yang ketat, serta beralih kepada sumber energi yang rendah karbon atau sumber energi non fosil. Di masa depan, saat teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture & storage – CCS) semakin ekonomis, maka opsi ini juga merupakan upaya yang secara signifikan dapat mengurangi emisi karbon. (World Economic Forum, 2012).

Kenyataannya, pertumbuhan populasi, pertumbuhan ekonomi, dan urbanisasi, telah memicu peningkatan konsumsi energi, makanan, dan air bersih. Ketika permintaan masyarakat akan air bersih bertambah, maka sumber-sumber air bersih akan semakin langka. Karenanya akan dibutuhkan tambahan konsumsi energi untuk melakukan pemompaan, desalinasi, treatment dan distribusi air. Penarikan air tanah tahunan pada sektor energi seperti pada pertambangan, pemprosesan, pengolahan, dan pembangkitan listrik, terhitung sebanyak sekitar 15% dari pemanfatan air bersih total dunia. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat secara signifikan dalam satu dekade ke depan. Sektor agrikultural bahan pangan juga tercatat mengkonsumsi sekitar 30% energi dunia dan mengkonsumsi 70% air bersih dunia. (REN21, 2015).

Ketika permintaan bahan pangan tumbuh, maka konsumsi energi dan air juga akan ikut tumbuh. Dalam rangka memutus keterkaitan yang selaras di antara ketiga komponen ini (air, pangan, dan energi) maka pemanfaatan energi terbarukan dapat mengambil peranan. Sejumlah bentuk energi terbarukan berpotensi dapat membantu mengurangi konsumsi air bersih dalam proses pembangkitan energi, misalkan dengan pemanfaatan energi matahari dan angin. (REN21, 2015).

Di sektor agrikultur bahan pangan, pemanfaatan energi terbarukan juga dapat membantu mengurangi ketergantungan harga bahan pangan terhadap harga bahan bakar fosil. Beberapa aktivitas pengolahan makanan seperti misalnya dalam proses pendinginan dan pengeringan, dan juga pendistribusian, energi terbarukan memiliki potensi untuk masuk dan mengurangi peranan energi fosil. Bahkan sampah bahan pangan juga dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit energi terbarukan sehingga memiliki nilai tambah. Dengan demikian energi terbarukan dapat berperan cukup signifikan dalam peningkatan ketahanan energi, ketahanan pangan, dan sekaligus ketahanan air bersih. (REN21, 2015).

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia


Kamis, 23 November 2017

HUBUNGAN ENERGY SECURITY DENGAN PERUBAHAN IKLIM SERTA LINGKUNGAN (1)


Pemanfaatan bahan bakar fosil (minyak, gas dan batubara) untuk memproduksi energi merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca. Pada skala global, gas rumah kaca bertanggung jawab terhadap lebih dari 60% jumlah emisi secara total (WRI, 2005; dalam IEA, 2005a). Ketika hanya mempertimbangkan negara-negara anggota OECD dan negara-negara yang sedang dalam tahap transisi ekonomi, angka ini naik menjadi 80 persen (IEA, 2005a).

Gas rumah kaca (greenhouse gas atau disingkat GHG) bisa berupa uap air (uap H2O), karbondioksida (CO2), metana (CH4), Nitrogen Oksida (NO), dan gas lain seperti hidrofluorokarbon (HCFC-22), klorofluorokarbon (CFC), dan lain-lain. Secara umum, gas rumah kaca terbentuk secara alami di lingkungan. Namun demikian, sejumlah aktivitas manusia di bidang industri telah berkontribusi menambah peningkatan produksi gas rumah kaca. Hal ini menyebabkan kadar gas rumah kaca ini semakin tinggi sehingga berada pada level yang berpotensi mengganggu keseimbangan lingkungan.

Uap air merupakan komponen gas rumah kaca terbesar. Namun demikian peningkatan uap air di udara dapat menjadi umpan balik positif (penyeimbang) terhadap peningkatan gas rumah kaca lain. Hal ini karena kadar uap air dapat meningkat seiring dengan peningkatan temperatur.

Berbeda halnya dengan uap air, CO2 merupakan gas rumah kaca terbesar kedua, dan juga dipandang sebagai gas rumah kaca yang paling berperan terhadap pemanasan global dan perubahan iklim. Gas CO2 ini bersifat lebih bertahan lama di atmosfer. CO2 dapat dikurangi secara alami melalui penyerapan oleh laut dan tumbuhan (fotosintesis). Akan tetapi aktivitas manusia dalam memproduksi gas CO2 ini jauh lebih cepat dibandingkan kemampuan alam untuk menguranginya.

Peningkatan komposisi gas rumah kaca di atmosfer akan menyebabkan pemanasan temperatur bumi dan secara global akan menyebabkan perubahan iklim. Mencairnya es di daerah kutub, peningkatan level air laut, ditengarai menjadi indikasi telah naiknya temperatur bumi. Hal ini dinilai mengancam eksistensi manusia di masa depan. Dengan demikian, mencegah perubahan iklim tidak dapat secara sukses dilakukan tanpa melakukan perubahan secara radikal dalam cara kita memproduksi, mengolah, dan menggunakan energi. (IEA, 2007).

Dewasa ini, telah cukup populer upaya-upaya pakar lingkungan untuk menghubungkan isu perubahan iklim dengan energy security. Hal ini dinilai dapat meningkatkan perhatian politik mengenai pentingnya tindakan yang lebih serius dalam upaya mencegah perubahan iklim. Segala upaya yang mengarah kepada pengembangan sistem energi yang lebih handal juga diharapkan dapat mengurangi emisi yang dihasilkan. Sebagai contoh, semakin besar upaya-upaya efisiensi energi yang dilakukan, diharapkan dapat membantu tercapainya tujuan kedua program tersebut. (World Economic Forum, 2012).

Kebijakan yang ditujukan untuk energy security yang dihubungkan dengan konsentrasi sumber energi akan memberi dampak terhadap pengurangan perubahan iklim dan juga sebaliknya. Pada kedua kasus tersebut, kebijakan-kebijakan yang dirumuskan secara tepat merupakan yang paling besar pengaruhnya terhadap pemilihan bahan bakar. Pada energy security, targetnya adalah untuk menjauhi sumber bahan bakar yang rentan terhadap gangguan, sedangkan pada isu perubahan iklim, targetnya adalah untuk mengurangi intensitas penggunaan bahan bakar yang menghasilkan emisi karbon. (IEA, 2007).

Secara teoritis, upaya untuk menghubungkan sasaran energy security dengan sasaran isu perubahan iklim dapat mendorong kemajuan yang lebih baik pada kedua sisi. Akan tetapi, dalam prakteknya, upaya menghubungkan energy security dengan perubahan iklim ini membuahkan hasil positif yang relatif kecil. Hal ini disebabkan upaya-upaya untuk melestarikan lingkungan lebih dikendalikan oleh faktor kelayakan politik dibandingkan visi praktis mengenai apa yang secara realistis dapat dicapai dari kebijakan lingkungan. (World Economic Forum, 2012).

Para pembuat kebijakan cenderung untuk menentukan sasaran yang tidak dapat dicapai dalam upaya mengurangi emisi, sedangkan langkah nyata untuk mencapainya cenderung dilakukan dengan sangat lambat. Upaya-upaya yang mendorong terjadinya perubahan sistem energi yang mendukung tercapainya target perbaikan lingkungan tampak tidak dijalankan secara serius. Hal ini mengakibatkan semakin meningkatnya ketidakpercayaan publik terhadap program-program perbaikan lingkungan. Kurangnya kepercayaan publik, pada gilirannya, telah mengurangi minat pelaku industri untuk berinvestasi di teknologi baru yang dibutuhkan yang mendukung tercapainya target-target kebijakan lingkungan. Para pelaku industri semakin sadar bahwa sasaran kebijakan lingkungan yang dirumuskan pemerintah merupakan sasaran yang tidak akan mampu dicapai. (World Economic Forum, 2012).

Upaya perbaikan terhadap sistem kebijakan yang bermasalah seperti ini membutuhkan upaya-upaya perbaikan pada tiga bidang. Pertama, adalah menyusun sasaran yang lebih realistis. Kedua, adalah fokus pada mekanisme pasar yang dapat menumbuhkan kompetisi yang sehat dari semua teknologi energi. Ketiga, adalah merangkul dampak-dampak dari globalisasi. Kebangkitan pasar global untuk teknologi energi dan bahan bakar merupakan potensi yang besar dalam perjuangan untuk menjamin energy security, sementara di sisi lain melakukan upaya mengurangi produk emisi karbon pada pemanfaatan energi (decarbonizing). Pasar global akan mengembangkan pasokan dan mendiversifikasi sistem energi. (World Economic Forum, 2012).

To Be Continued..............

Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia