Islam merupakan sistem kehidupan yang bersifat kompreshensif, yang mengatur semua aspek. Islam menawarkan kepada umat manusia sistem yang akan membawa kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Termasuk di bidang ekonomi, Islam pun memberikan panduan-panduan untuk mencapai tujuan tersebut.
Di dalam sistem ekonomi Islam, mencari rejeki dan menjadi kaya tidak dibatasi dan dilarang. Justru dianjurkan.
Renungkan firman Allah berikut:
”Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah (62):10)
Allah swt berfirman: ”Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya”. (QS.al-Mulk(67):15)
Banyak keutamaan-keutamaan menjadi orang kaya dalam Islam. Orang kaya yang bersyukur dapat mempergunakan hartanya untuk mempertinggi kedudukannya di sisi Allah. Misalnya melalui infaq, sedekah, zakat, naik haji, memelihara anak yatim, dll. Hal ini seperti dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
جاء الفقراء إلى النبي فقالوا: يا رسول الله، ذهب أهل الدثور من الأموال بالدرجارت العلا والنعيم المقيم، يصلون كما نصلي، ويصومون كما نصوم، ولهم فضل من أموال يحجون بها ويعتمرون ويجاهدون ويتصدقون، وليست لنا أموال…وفي رواية مسلم: فقال رسول الله في آخر الحديث: “ذلك فضل الله يؤتيه من يشاء” (متفق عليه).
“Orang-orang miskin (dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) pernah datang menemui beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka berkata: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang (kaya) yang memiliki harta yang berlimpah bisa mendapatkan kedudukan yang tinggi (di sisi Allah Ta’ala) dan kenikmatan yang abadi (di surga), karena mereka melaksanakan shalat seperti kami melaksanakan shalat dan mereka juga berpuasa seperti kami berpuasa, tapi mereka memiliki kelebihan harta yang mereka gunakan untuk menunaikan ibadah haji, umrah, jihad dan sedekah, sedangkan kami tidak memiliki harta…“. Dalam riwayat Imam Muslim, di akhir hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu adalah karunia (dari) Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya“.
Namun demikian, kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan untuk memperkaya diri tidaklah dilakukan sebebas-bebasnya dan menghalalkan segala cara. Dalam konsep Islam upaya-upaya perniagaan haruslah sesuai dengan panduan-panduan yang telah ditetapkan Allah SWT, agar harta yang didapatkan adalah harta yang halal dan berkah.
Beberapa kaidah perniagaan dalam Islam diantaranya adalah adanya larangan praktek riba.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. [al Baqarah : 275].
Dalam sistem ekonomi Islam, proses perniagaan yang zalim dan merugikan salah satu pihak juga dilarang. Proses perniagaan harus menguntungkan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”. [an Nisa : 29].
Termasuk juga sistem perniagaan yang mengandung unsur judi atau ada unsur ketidakjelasan. Hal ini dilarang dalam sistem ekonomi Islam, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.[al Maidah : 90-91]
Sistem ekonomi Islam juga melarang kekayaan individu secara absolut. Dalam konsep Islam, harta yang berhasil didapatkan dan dikumpulkan oleh seseorang, didalamnya ada hak-hak orang lain yang harus dipenuhi melalui zakat, infaq, sedekah, dll. Islam menekankan agar harta kekayaan tidak hanya beredar diantara orang kaya saja, namun semua pihak harus merasakan manfaatnya.
Firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 7 : Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
Satu hal lagi yang perlu dipahami adalah bahwa dalam pemahaman Islam, rejeki setiap individu telah ditentukan oleh Allah. Seseorang tidak akan menemui ajalnya sebelum semua rejekinya telah tersampaikan.
(يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا الله وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْساْ لَنْ تَمُوَت حَتىَّ تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا، فَاتَّقُوا الله وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ، خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرَمَ). رواه ابن ماجة
“Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rizqi, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rizqinya, walaupun telat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rizqi. Tempuhlah jalan-jalan mencari rizki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah 1756, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Dalam hal pembagian rejeki, masing-masing individu telah ditetapkan takarannya oleh Allah sesuai yang Dia Kehendaki.
“Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Al Isra’: 30)
Oleh karena itu, Islam tidak menghendaki upaya mencari rejeki dilakukan dengan cara yang zalim dan aniaya, karena setiap individu telah ada jatah rejekinya masing-masing sesuai yang telah ditetapkan.
Namun demikian, hal ini bukan berarti kita pasrah begitu saja dan berpangku tangan dalam urusan rejeki. Kita harus memperjuangkannya semaksimal mungkin dan bertawakkal kepada Allah mengenai hasil dari usaha kita tersebut. Oleh karena itu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
احرص على ما ينفعك واستعن بالله ولا تعجز وإن أصابك شيء فلا تقل لو أني فعلت كان كذا وكذا ولكن قل قدر الله وما شاء فعل
“Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah dan jangalah kamu malas! Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan :’Seaindainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah : ‘Qoddarullahu wa maa sya’a fa’ala” (HR. Muslim 2664)
Jadi, dari gambaran-gambaran umum dibatas, dapat dikatakan sistem ekonomi Islam tidak seperti sistem ekonomi liberal yang memberikan kebebasan penuh bagi seseorang dalam berniaga. Juga tidak seperti sistem sosialis yang membatasi secara ketat kepemilikan harta secara individu. Dapat dikatakan sistem ekonomi Islam adalah pertengahan diantara keduanya. Sistem Islam mendorong manusia untuk semangat memperjuangkan mencari harta yang halal sesuai panduan syariat, namun juga mendorong manusia untuk memiliki semangat berbagi agar kekayaan tersebut juga memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat umum.
Perlu dipahami juga, bahwa penerapan sistem ekonomi Islam tidak akan merugikan non muslim, dan tidak memihak hanya kepada kaum muslimin. Sistem Islam dibangun atas dasar keadilan untuk mewujudkan tujuan Islam yakni untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil 'alamin). Justru hak-hak non muslim dilindungi dalam sistem Islam.
Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa di era ini, sistem ekonomi Islam tidak dapat berjaya di tengah dominasi sistem ekonomi konvensional (liberal dan sosialis). Padahal selama sekitar 13 abad sistem ekonomi Islam ini telah diterapkan mulai di era Rasulullah hingga era khalifah Turki Ustmani dan terbukti mampu memberikan kejayaan ekonomi dan kemaslahatan umat manusia.
Jawabannya adalah ada pada internal kaum muslimin sendiri. Apakah kaum muslimin di era ini telah percaya diri dan mampu istiqomah dalam mempraktekkan panduan Al Quran dan Hadis atau tidak. Atau justru malah menjauhinya dan lebih memilih sistem non Islam yang dianggap lebih baik, lebih menguntungkan, lebih mudah dan lebih keren bagi kaum muslimin dan umat manusia secara keseluruhan, sehingga kaum muslimin lebih condong mengikuti sistem tersebut. Padahal Islam sendiri telah menawarkan sistem serupa yang akan membawa kebahagian dunia dan akhirat serta memberikan kemaslahatan kepada semua umat manusia, baik yang muslim maupun non muslim.