Yergin (2006) menyebutkan bahwa cikal bakal konsep energy security dimulai pada perang dunia pertama. Ketika itu, Angkatan Laut Kerajaan Inggris memutuskan untuk mengubah bahan bakar kapal perang mereka yang awalnya batubara (mesin uap) menjadi bahan bakar minyak bumi.
Pada masa itu muncul pertanyaan besar terhadap kebijakan tersebut. Mengapa Angkatan Laut Kerajaan Inggris yang awalnya menggunakan bahan bakar batubara yang bersumber dari wilayah Wales yang dinilai lebih aman harus berganti ke bahan bakar minyak yang sumbernya terletak di daerah timur tengah yang tidak cukup meyakinkan keamanan dan keberlanjutan pasokannya.
Churcill yang saat itu menjabat sebagai Laksamana Angkatan Laut Kerajaan Inggris menjawab kritik-kritik tersebut. Dia mengatakan bahwa keamanan dan kepastian pasokan minyak terletak pada seberapa bervariasinya sumber pasokan minyak yang digunakan. Semakin bervariasi sumber pasokan minyak bumi yang digunakan, maka akan semakin aman dan handal kapal perang angkatan laut kerajaan Inggris.
Pada awal abad 20, terjadi peperangan-peperangan besar yakni perang dunia ke-1 dan perang dunia ke-2. Salah satu motif peperangan dan ekspansi wilayah kekuasaan pada masa ini adalah dalam rangka penguasaan sumber-sumber minyak bumi. Hal ini dapat dipahami karena bahan bakar berbasis minyak bumi merupakan elemen penting penggerak peralatan perang.
Kita dapat melihat beberapa peperangan yang memperebutkan sumber minyak seperti di Indonesia, Timur Tengah, Kaukasus dan Rumania selama perang dunia ke-2. Deklarasi perang Jepang terhadap Amerika Serikat melalui penyerangan terhadap pangkalan militer Amerika di Pearl Harbour juga dilatar belakangi upaya pengamanan Jepang terhadap suplai minyak ke negerinya. Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan pentingnya suplai minyak bagi kegiatan militer selama perang dunia ke-2.
Pasca perang dunia ke-2, peranan minyak bumi justru semakin penting di tengah-tengah masyarakat dunia. Pada awalnya BBM jenis kerosin (minyak tanah) merupakan sumber energi populer terutama untuk digunakan sebagai bahan penerangan/lampu. Setelah itu, mesin bensin ditemukan, sehingga BBM jenis bensin semakin populer. Peranan bensin semakin besar di sektor transportasi dan industri. Pemanfaatan listrik untuk penerangan juga semakin populer.
Sistem tenaga uap yang memanfaatkan batubara mulai tergantikan dengan sistem tenaga minyak bumi. Mesin penggerak berbahan bakar bensin dan minyak diesel semakin populer dimana semakin masifnya perkembangan sektor transportasi yang menggunakan bahan bakar minyak bumi (BBM).
Kebutuhan akan bahan bakar minyak bumi semakin meningkat. Permintaan terus meningkat terutama untuk perkapalan, indutri, dan pemakaian pribadi. Hasil olahan minyak lainnya juga dimanfaatkan secara masif, seperti pelumas, parafin dan lilin.
Negara-negara terus menggenjot kegiatan perekonomiannya dan seiring dengan itu permintaan dan kebutuhan akan energi semakin meningkat pula. Baik untuk sektor transportasi, industri makanan dan minuman, kesehatan, manufaktur, pembangkit tenaga listrik dan pemanas ruangan. Pada waktu bersamaan, banyak negara industri yang tidak mampu memproduksi minyak bumi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pada akhirnya kebijakan untuk mengimpor minyak dari negara-negara penghasil minyak dilakukan.
Negara-negara penghasil minyak mendapatkan pendapatan yang semakin besar dari semakin meningkatnya kebutuhan akan energi yang berbasiskan bahan bakar minyak. Pada tahun 1960 dibentuklah Organization of the Petreloum Exporting Countries (OPEC) yang anggotanya terdiri dari negara-negara pengekspor minyak terbesar. Kegiatan impor dan ekspor minyak kemudian semakin intens seiring dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Semakin lama, negara-negara penghasil minyak tersebut semakin tergantung pada pendapatan yang didapatkan dari penjualan minyak. Sementara itu, negara-negara konsumen minyak semakin tergantung terhadap pasokan minyak dari negara-negara OPEC yang secara geografis cukup terpusat di wilayah Timur Tengah.
Sistem ini terus berlanjut hingga pada tahun 1973 dimana terjadi pergolakan geopolitik dunia. Negara-negara Timur Tengah penghasil minyak yang tergabung dalam OPEC menghentikan suplai minyak ke Amerika Serikat dan juga kepada sejumlah negara lain. Hal ini sebagai bentuk protes terhadap Amerika Serikat dan sekutunya yang mendukung agresi Israel di Timur Tengah. Hasilnya, harga minyak dunia saat itu menjadi naik empat kali lipat yang memicu krisis ekonomi global dan menunjukkan betapa lemahnya tatanan sistem suplai minyak global.
Konsekuensi dari peristiwa ini adalah penempatan energy security, khususnya keamanan pasokan minyak, sebagai bagian penting dari kebijakan energi pada banyak negara industri. (LaCasse and Plourde, 1995). Yergin (2006) menyebutkan bahwa krisis minyak pada tahun 1970-an telah melahirkan konsep modern mengenai energy security.
Seiring berjalannya waktu, dewasa ini, fokus energy security telah berkembang lebih jauh lagi. Cakupannya bukan hanya minyak bumi, tetapi juga gas alam, batubara, nuklir, energi terbarukan, dan listrik. Batubara masih mendominasi sebagai bahan bakar pembangkit listrik dunia. Peranan energi fosil (batubara, minyak bumi, dan gas alam) dinilai masih cukup signifikan secara global dibandingkan energi non fosil. Karenannya fokus energy security masih belum beranjak pada energi fosil, terutama minyak bumi.
Bentuk ancaman terhadap keberlangsungan sistem energi juga semakin luas. Bukan hanya mempertimbangkan isu-isu keamanan pasokan, tetapi juga mencakup perlindungan infrastruktur dari bencana alam, serangan terorisme dan konflik, dan juga kemungkinan serangan cyber. Dampak bencana badai Katrina dan Rita pada suplai minyak dan gas bumi di Teluk Meksiko tahun 2005 serta tragedi Fukushima di Jepang tahun 2011 merupakan contoh bentuk ancaman serius faktor alam terhadap energy security.
Namun demikian, bencana alam di Teluk Meksiko berhasil menunjukkan betapa bermanfaatnya sistem stok energi (minyak bumi) darurat yang dibentuk negara-negara anggota International Energy Agency (IEA) dalam menanggulangi gangguan suplai energi di Teluk Meksiko. Pelepasan stok energi darurat ini adalah yang kedua kalinya dilakukan dalam otorisasi IEA. Pelepasan stok darurat ini terbukti mampu menjamin kestabilan ekonomi secara global pada saat terjadi gangguan pasokan di suatu wilayah.
Melambungnya kembali harga minyak pada 2007 – 2008 sekali lagi semakin meningkatkan kesadaran akan pentingnya kebijakan energy security. Sebaliknya penurunan signifikan dan drastis harga minyak pada tahun 2014 menimbulkan permasalahan di sisi yang lain, yakni berkurangnya minat investasi di sisi produksi dimana hal ini berarti berkurangnya pendapatan produser minyak termasuk juga berdampak terhadap lesunya aktivitas industri-industri pendukung dan juga industri-industri energi alternatif.
Bagi negara-negara konsumen minyak, turunnya harga minyak berarti keuntungan, karena dapat memperoleh minyak dengan harga rendah. Namun harga minyak yang terlalu rendah juga membuat konsumen semakin konsumtif terhadap minyak, dan di sisi lain, investasi di bidang energi terbarukan menjadi semakin tidak layak dan tidak menarik. Cita-cita masyarakat dunia untuk bergerak ke energi non fosil yang ramah lingkungan dan mencegah pemanasan global akan semakin jauh.
Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015.
Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada :
https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia