Terdapat 3 kelompok teknologi co-firing yakni : 1) direct co-firing, dimana digunakan ketel uap (boiler) tunggal dengan sistem pembakar (burner) umum atau (burner) terpisah. Teknologi ini merupakan yang paling murah dan paling banyak digunakan; 2) indirect co-firing, dimana sebuah gasifier mengubah biomassa padat menjadi fase gas; 3) parallel co-firing, dimana boiler yang terpisah digunakan untuk biomassa, kemudian uap air panas (steam) yang dihasilkan digabungkan dengan steam dari boiler konvensional yang menggunakan bahan bakar fosil.
Secara umum, efisiensi listrik dari sistem co-firing biomassa dengan batubara cukup bervariasi mulai dari 35% – 44%. (ETSAP, 2010b; IEA 2012, dalam IEA-ETSAP dan IRENA 2013). Sampai sejauh ini biasanya biomassa dicampurkan dalam sistem co-firing sebanyak sekitar 5% sampai 10%. Semakin tinggi komposisi biomassa berarti semakin rendah gas rumah kaca (green house gas – GHG) yang dihasilkan. Diperkirakan, dengan pemanfaatan sistem co-firing 1-10% biomassa pada setiap pembangkit listrik batubara di seluruh dunia akan dapat mengurangi emisi CO2 sebanyak 45 – 450 juta ton per tahun pada tahun 2035.
Biaya investasi untuk memodifikasi (retrofit) sebuah pembangkit listrik batubara menjadi sistem co-firing dengan biomassa adalah sekitar USD $ 430 – 500/kW untuk pabrik yang bahan bakunya dalam satu lokasi (co-feed plant), USD $ 760-900/kW untuk pabrik yang bahan bakunya terpisah (separate feed plant), dan USD $ 3.000 – 4.000/kW untuk sistem indirect co-firing.
Biaya operasi dan pemeliharaan dapat dikatakan mirip dengan pembangkit listrik batubara yakni sebesar USD $ 5-10/MWh karena co-firing akan meningkatkan biaya penanganan bahan bakar tetapi mengurangi biaya de-sulphurisation dan pembuangan abu pembakaran. (Mott McDonald 2011, dalam IEA-ETSAP dan IRENA 2013). Biaya operasi dan pemeliharaan umumnya adalah sekitar 2,5% – 3,5% dari biaya modal untuk sistem direct co-firing (IRENA 2012, dalam IEA-ETSAP dan IRENA 2013) dan sekitar 5% untuk indirect co-firing (ECN 2012b, dalam IEA-ETSAP dan IRENA 2013).
Biaya bahan bakar biomassa tergantung pada jenis, volume yang diperdagangkan, dan lokasi geografis. Biaya butiran biomassa (biomassa pellet) yang diperdagangkan secara global adalah sekitar Eur € 12/MWh, lebih tinggi daripada harga batubara. Studi IRENA terbaru menyajikan data mengenai harga biomassa yang tersedia secara lokal di Amerika Serikat, Eropa, Brasil, dan India. Harga biomassa ampas tebu di Brasil dan India adalah sekitar USD $ 0-11/MWh. Harga sampah agrikultural di Amerika Serikat dan Eropa berkisar antara USD $ 6-22/MWh. Proses pembuatan pellet biomassa merupakan cara untuk meningkatkan secara signifikan nilai panas (heat value) per volume biomassa. Selama 4 tahun terakhir harga biomassa pellet industri mengalami fluktuasi antara Euro € 24-30/MWh dimana harga ini sekitar Euro € 12/MWh lebih tinggi dibandingkan harga batubara. (Hawkins Wright, 2011, dalam IEA-ETSAP dan IRENA 2013).
Dengan mempertimbangkan harga batubara dan biomassa, co-firing secara umum lebih mahal dibandingkan pembangkit listrik batubara murni atau CHP batubara. Untuk meningkatkan keekonomian sistem co-firing beberapa cara dapat diterapkan di antaranya adalah pemberian insentif terhadap konversi pembangkit listrik biasa menjadi pembangkit dengan sistem CHP yang lebih efisien, penghapusan subsidi bahan bakar fosil, dukungan pemerintah pada penyediaan biomassa dan infrastruktur, serta mendedikasikan pendanaan terhadap riset dan pengembangan sistem co-firing. Pemerintah juga dapat menetapkan mandat penggunaan biomassa dengan sistem co-firing pada semua pembangkit listrik batubara, baik yang sedang beroperasi maupun yang akan dibangun. (IEA-ETSAP dan IRENA 2013).
Referensi : Apriyanto, Alek Kurniawan. 2015. Membangun Energy Security Indonesia. Jakarta : Pustaka Muda.
Buku ini tersedia pada : https://www.tokopedia.com/bukuqu/membangun-energy-security-indonesia