Minggu, 27 Juli 2014

PENETAPAN AWAL RAMADHAN (PUASA) DAN AWAL SYAWAL (IDUL FITRI)


Penepatan awal Ramadhan dan awal syawal hampir selalu menjadi polemik rutin setiap tahun di negeri ini. Ada yang mengikuti pemerintah, ada yang berpendapat tidak harus mengikuti pemerintah karena pemerintah bukan ulil amri, ada yang menggunakan ru'yah, ada yang menggunakan hisab. Saya mencoba mengumpulkan sejumlah referensi mengenai hal ini. Semoga hal ini bisa bermanfaat dalam upaya untuk menegakkan ukhuwah dan kebersamaan diantara kaum Muslimin di negeri ini.

DASAR PENENTUAN AWAL BULAN DENGAN MELIHAT HILAL
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.” (HR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081)

”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari no. 1907 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar)

HISAB
”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis)dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar)

PERBEDAAN PENGLIHATAN HILAL
“Kuraib mengabarkan bahwa Ummu Fadll bintul Harits mengutusnya kepada Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata : “Aku sampai di Syam kemudian aku memenuhi keperluannya dan diumumkan tentang hilal Ramadhan, sedangkan aku masih berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah pada akhir bulan. Maka Ibnu Abbas bertanya kepadaku – kemudian dia sebutkan tentang hilal — : ‘kapan kamu melihat Hilal?’ Akupun menjawab : ‘Aku melihatnya pada malam Jum’at. Beliau bertanya lagi : ‘Engkau melihatnya pada malam Jum’at ?’ Aku menjawab :’Ya, orang-orang melihatnya dan merekapun berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata : ‘Kami melihatnya pada malam Sabtu, kami akan berpuasa menyempurnakan tiga puluh hari atau kami melihatnya (hilal).’Aku bertanya : ‘Tidakkah cukup bagimu ru'yah dan puasa Muawiyyah ?’ Beliau menjawab : ‘Tidak! Begitulah Rasulullah memerintahkan kami.’” (HR. Muslim 1087, At-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud 1021. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi di Shahih kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/213)

Dalam hadits Kuraib diatas dan hadits-hadits sebelumnya para ulama berselisih pendapat. Perselisihan ini disebutkan dalam Fathul Bari Juz. 4 hal. 147. Ibnu Hajar berkata : “Para Ulama berbeda pendapat tentang hal ini atas beberapa pendapat :

Pendapat Pertama :
Setiap negeri mempunyai ru’yah atau mathla’. Dalilnya dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam Shahih Muslim. Ibnul Mundzir menceritakan hal ini dari Ikrimah, Al-Qasim Salim dan Ishak, At-Tirmidzi mengatakan bahwa keterangan dari ahli ilmu dan tidak menyatakan hal ini kecuali beliau.

Pendapat Kedua :
Apabila suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Pendapat ini masyhur dari kalangan madzhab Malikiyah. Tetapi Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa ijma’ telah menyelisihinya. Beliau mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa ru’yah tidak sama pada negara yang berjauhan seperti antara Khurasan (negara di Rusia) dan Andalus (negeri Spanyol).

Al-Qurthubi berkata bahwa para syaikh mereka telah menyatakan bahwa apabila hilal tampak terang di suatu tempat kemudian diberitakan kepada yang lain dengan persaksian dua orang, maka hal itu mengharuskan mereka semua berpuasa.

Sebagian pengikut madzhab Syafi’i berpendapat bahwa apabila negeri-negeri berdekatan, maka hukumnya satu dan jika berjauhan ada dua :
  1. Tidak wajib mengikuti, menurut kebanyakan mereka
  2. Wajib mengikuti. Hal ini dipilih oleh Abu Thayib dan sekelompok ulama. Hal ini dikisahkan oleh Al-Baghawi dari Imam Syafi’i.
Sedangkan dalam menentukan jarak (jauh) ada beberapa pendapat :
  1. Dengan perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudlah dan Syarhul Muhadzab.
  2. Dengan jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam Al-Baghawi dan dibenarkan oleh Ar-Rafi’i dalam Ash-Shaghir dan An-Nawawi dalam Syarhul Muslim.
  3. Dengan perbedaan iklim.
  4. Pendapat As-Sarkhasi : “Keharusan ru’yah bagi setiap negeri yang tidak samar atas mereka hilal.”
  5. Pendapat Ibnul Majisyun : “Tidak harus berpuasa karena persaksian orang lain…” berdalil dengan wajibnya puasa dan beriedul fithri bagi orang yang melihat hilal sendiri walaupun orang lain tidak berpuasa dengan beritanya.
Imam Syaukani menambahkan : “Tidak harus sama jika berbeda dua arah, yakni tinggi dan rendah yang menyebabkan salah satunya mudah melihat hilal dan yang lain sulit atau bagi setiap negeri mempunyai iklim. Hal ini diceritakan oleh Al-Mahdi dalam Al-Bahr dari Imam Yahya dan Hadawiyah.”

Hujjah ucapan-ucapan diatas adalah hadits Kuraib dan segi pengambilan dalil adalah perbuatan Ibnu Abbas bahwa beliau tidak beramal (berpuasa) dengan ru’yah penduduk Syam dan beliau berkata pada akhir hadits : “Demikian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh kami.” Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengambil dari praktek Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa penduduk suatu negeri tidak harus beramal dengan ru’yah negeri lain. Demikian pendalilan mereka.

PEMBERLAKUAN RUKYAH SECARA GLOBAL
Adapun menurut jumhur ulama adalah tidak adanya perbedaan mathla’ (tempat munculnya hilal). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ,”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Ucapan ini umum mencakup seluruh ummat manusia. Jadi siapa saja dari mereka melihat hilal dimanapun tempatnya, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.” (Fiqhus Sunah 1/368)

As-Shan’ani rahimahullah berkata, “Makna dari ucapan “karena melihatnya” yaitu apabila ru’yah didapati diantara kalian. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.” (Subulus Salam 2/310)

Imam As-Syaukani membantah pendapat-pendapat yang menyatakan bahwasanya ru’yah hilal berkaitan dengan jarak, iklim dan negeri dalam kitabnya Nailul Authar 4/195.

Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka wajib puasa. Demikian juga kalau menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.” (Majmu’ Fatawa Juz 25 hal 104-105)

Shidiq Hasan Khan berkata : “Apabila penduduk suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Hal itu dari segi pengambilan dalil hadits-hadits yang jelas mengenai puasa, yaitu “karena melihat hilal dan berbuka karena hilal” (Hadits Abu Hurairah dan lain-lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua ummat, maka barangsiapa diantara mereka melihat hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru’yah itu untuk semuanya …” (Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/146).

Pendapat ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas (hadits Kuraib) karena beberapa perkara yang disebutkan As-Syaukani rahimahullah. Kemungkinan yang lebih kuat untuk dikatakan adalah bahwa hadits Ibnu Abbas tertuju bagi orang yang berpuasa berdasarkan ru’yah negerinya, kemudian sampai berita kepadanya pada pertengahan Ramadhan bahwa di negeri lain melihat hilal satu hari sebelumnya. Pada keadaan semacam ini beliau (Ibnu Abbas) meneruskan puasanya bersama penduduk negerinya sampai sempurna 30 hari atau melihat hilal. Dengan demikian hilanglah kesulitan (pengkompromian dua hadits) tersebut sedangkan hadits Abu Harairah dan lain-lain tetap pada keumumannya, mencakup setiap orang yang sampai kepadanya ru’yah hilal dari negeri mana saja tanpa adanya batasan jarak sama sekali, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah di dalam Al-Fatawa 75/104 …(Tamamul Minnah, hal. 397)

DIUTAMAKAN MENGIKUTI KETETAPAN PEMERINTAH
“Puasa itu pada hari (ketika) kalian semua berpuasa, Idul fitri pada hari ketika kalian semua beridulfitri dan Idul Adha ketika kalian semua beriduladha” (Hadits Riwayat Tirmidzi dalam “Sunannya no : 633 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam “Silsilah ash-shahihah no : 224).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:“Dengar dan taatlah (kepada penguasa). Karena yang jadi tanggungan kalian adalah yang wajib bagi kalian, dan yang jadi tanggungan mereka ada yang wajib bagi mereka” (HR. Muslim 1846)

BOLEHNYA MENUNDA PELAKSANAAN SHALAT IDUL FITRI
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Husyaim dari Abu Bisyr dari Abu Umair bin Anas bin Malik ia berkata; telah menceritakan kepadaku paman-pamanku dari kalangan Anshar -mereka adalah para sahabat Rasulullah s.a.w. mereka berkata, “Kami tidak dapat melihat hilal bulan Syawal, maka pada pagi harinya kami masih berpuasa, lalu datanglah kafilah di penghujung siang, mereka bersaksi di sisi Nabi s.a.w. bahwa kemarin mereka melihat hilal. Maka Rasulullah s.a.w. pun memerintahkan mereka berbuka, dan keluar untuk merayakan hari rayanya pada hari esok. ” (H.R. Ibnu Majah No. 1643 Abu Daud No. 977) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadist ini shahih.

Telah mengabarkan kepada kami ‘Amr bin ‘Ali dia berkata; telah menceritakan kepada kami Yahya dia berkata; telah menceritakan kepada kami Syu’bah dia berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr dari Abu ‘Umair bin Anas dari bibinya, bahwa ada suatu kaum yang melihat hilal (bulan Sabit, masuknya bulan Syawal), lalu mereka datang kepada Rasulullah s.a.w.. Kemudian beliau s.a.w. memerintahkan mereka untuk berbuka puasa setelah hari agak siang dan keluar ke tempat shalat Id (hari raya) besoknya. (H.R. Nasa’i No. 1539)

Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Ja’far bin Abu wahsyiyah dari Abu ‘Umair bin Anas dari paman-pamannya yang juga sahabat Rasulullah s.a.w. bahwa suatu rombongan datang kepada Nabi s.a.w., mereka bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal kemarin. Maka beliau memerintahkan mereka (masyarakat) untuk berbuka puasa, dan keesokan harinya, mereka berpagi-pagi menuju ke tempat shalat (untuk melaksanakan shalat hari raya Idul Fitri).” (H.R. Abu Daud No. 977) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih.

Maka berdasarkan hadits di atas mayoritas ulama berpendapat boleh menunda melaksanakan shalat ‘Id pada keesokan harinya lagi (2 hari sejak terlihatnya hilal) (Lihat Ad-Durr Al Mukhtar Jilid 1 hal 782, Tabyiin Al Haqaa’iq Jilid 1 Hal 226), Al Fatawa Al Hindiyah Jilid 1 Hal. 142, Al Muhadzdzab Jilid 1 Hal. 131, Al Mughni Al Muhtaaj Jilid 1 Hal 215, Al Mughni Jilid 2 Hal. 291 dan Kasysyaf Al-Qinaa’ Jilid 2 Hal 56)

KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas dapat diketahui bahwa:
  1. Penetapan waktu puasa dan lebaran diutamakan untuk mengikuti ketetapan pemerintah demi terciptanya ukhuwah. Bagaimanapun pemerintahlah yang mengemban amanah kepemimpinan yang akan mempertanggung jawabkannya kelak di hadapan Allah.
  2. Metode rukyah lebih diutamakan untuk dijadikan referensi dibandingkan hisab karena dicontohkan Rasulullah dan dipraktekkan para sahabat.
  3. Metode rukyah dapat diterapkan secara umum atau global. Apabila hilal telah dapat terlihat di suatu negeri maka hal itu sudah cukup untuk dijadikan referensi bagi negeri lainnya untuk mengikuti.
  4. Apabila memang benar-benar belum bisa dicapai kata sepakat untuk menyatukan pelaksanaan Idul Fitri diantara ormas-ormas Islam di negeri ini, maka menunda pelaksanaan idul fitri adalah solusi terbaik yang bisa dilakukan. Penundaan shalat Ied dilakukan sehingga semua ormas Islam dapat melaksanakan shalat Ied bersama-sama dalam satu waktu yang disepakati bersama. Upaya menegakkan ukhuwah dan kebersamaan merupakan perkara yang harus lebih diutamakan.

Sabtu, 21 Juni 2014

MENYIKAPI PENUTUPAN LOKALISASI SECARA BIJAK


Lokalisasi bisa diartikan sebagai suatu upaya untuk mensentralisasi dan melegalkan tempat pelacuran dalam satu lokasi. Tujuannya untuk memudahkan proses monitoring dan kontrol terhadap aktivitas prostitusi dan dampak negatifnya. Pendukung program lokalisasi beranggapan dengan adanya lokalisasi para PSK dapat didata dan dimonitoring, termasuk pengunjung lokalisasi. Hal ini untuk menghindari anak di bawah umur menggunakan jasa prostitusi. Penyebaran penyakit kelamin juga dapat diminimalkan karena petugas medis resmi akan rutin memeriksa para PSK. Sambil lalu, upaya pembinaan PSK dan germonya juga dapat dilakukan secara lebih terorganisir dan rutin, dengan harapan mereka dapat keluar dari lingkaran bisnis prostistusi.

Berbeda halnya jika praktek prostitusi tidak dilokalisasi dimana dianggap dapat memberikan dampak lebih buruk. Tidak adanya lokalisasi dianggap akan memicu para PSK untuk beroperasi secara liar. Hal ini justru akan menyulitkan pemerintah untuk mengontrol mereka dan mempersulit kontrol akibat yang ditimbulkannya seperti menyebarnya penyakit menular seksual misalnya sipilis, HIV-AIDS dll. Termasuk juga kemungkinan sulitnya mencegah anak-anak dibawah umur terlibat dalam bisnis prostitusi, baik sebagai PSK maupun pengguna.

Sekilas, program lokalisasi tampak sebagai suatu solusi yang bagus dan tepat.

Bahkan demi mendukung program ini secara masif, beberapa orang membawa dalil agama sebagai upaya menghalalkan program lokalisasi dari sisi agama. Beberapa dalil yang dijadikan referensi diantaranya:

“Bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan.” (Ibn Nujaim Al-Hanafi, al-Asybah wa an-Nazhair, tahqiq Muthi` Al-Hafidz, Bairut-Dar Al-Fikr, hal: 96)

“Inkar terhadap perkara yang munkar itu ada empat tingkatan. Pertama : perkara yang munkar hilang dan digantikan oleh kebalikannya (yang baik atau ma’ruf); kedua : perkara munkar berkurang sekalipun tidak hilang secara keseluruhan; ketiga : perkara munkar hilang digantikan dengan kemunkaran lain yang kadar kemungkrannya sama. Keempat: perkara munkar hilang digantikan oleh kemungkaran yang lebih besar. Dua tingkatan yang pertama diperintahkan oleh syara’, tingkatan ketiga merupakan ranah ijtihad, dan tingkatan keempat hukumnya haram”. (Ibn Qoyyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi’in an Rabbi al-‘Alamin, tahqiq: Thaha Abdurrouf Saad, Bairut- Dar al-Gel, 1983. M, vol: III, h. 40)

Mereka beranggapan bahwa lokalisasi merupakan upaya yang memang tidak dibenarkan oleh agama. Namun demi mencegah kemudhorotan (keburukan) yang lebih besar maka hal tersebut boleh dilakukan.

Hal ini sangat disayangkan karena menyandarkan suatu dalil agama dalam konteks yang tidak tepat. Bahkan dipaksakan.

Untuk itu, mari kita pikirkan ulang bersama program lokalisasi ini melalui tinjauan kritis terhadap program lokalisasi itu sendiri. Apakah benar lokalisasi merupakan solusi? Apakah benar ada dalil-dalil agama yang melegalkan praktek lokalisasi?

Satu fakta yang tidak bisa dipungkiri, lokalisasi justru merupakan tempat dimana angka kriminalitas cukup tinggi. Praktek prostitusi akan selalu dibarengi dengan praktek minum-minuman keras. Hal ini tentu menjadi perpadauan yang kuat yang berpotensi menimbulkan praktek-praktek kejahatan dan pelanggaran lainnya. Misalnya perkelahian, kerusuhan, pencurian, tindakan asusila, perampokan, pembunuhan, kecelakaan lalu lintas, dll.

Mengenai hal tersebut kita bisa lihat contohnya dari praktek yang pernah dilakukan di Jakarta dimana sempat dibuka lokalisasi Kramat Tunggak pada masa Gubernur Ali Sadikin. Namun kemudian ditutup pada tahun 1999 dengan alasan tingginya tingkat kejahatan di sekitar area lokalisasi. Ini menunjukkan bahwa program lokalisasi bukanlah solusi, tetapi membuat masalah sosial baru. Yaitu meningkatnya angka kejahatan di daerah sekitar lokalisasi. Adapun contoh peningkatan angka kriminilitas di lokalisasi lain yang masih beroperasi bisa ditelusuri lebih lanjut.

Selain itu keberadaan lokalisasi juga berpotensi menimbulkan degradasi moral generasi muda. Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, sempat melakukan tanya jawab dengan seorang nenek yang masih menjajakan dirinya di tempat lokalisasi. Nenek tersebut mengakui bahwa dia masih banyak mendapat pelanggan anak-anak dan remaja. Hal ini sungguh menyedihkan. Inilah salah satu alasan yang kemudian memacu Risma bertekad menutup lokalisasi Dolly.

Degradasi moral generasi muda ini merupakan efek jangka panjang yang perlu dipikirkan bersama. Permasalahannya, anak-anak bukan lagi menjadi PSK, tetapi telah menjadi pengguna PSK. Dengan berbagai macam tontonan pornografi yang semakin mudah didapat, ditambah dengan fasilitas lokalisasi yang dekat dan tersedia PSK murah meriah, maka ini berpotensi memberikan peluang anak-anak untuk ikut terlibat dalam aktivitas prostitusi. Karena itu, anak-anak yang tinggal di daerah lokalisasi juga perlu diteliti dan dimonitoring, bagaimakah perkembangan mereka. Bagaimana perbedaannya dengan anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang baik, yang jauh dari lokalisasi. Jika memang telah terdapat gejala-gejala penurunan moral, maka perlu pembinaan yang intensif sesegera mungkin.

Jadi dari sini sudah jelas, upaya melegalkan suatu maksiat hanya akan berpotensi melahirkan maksiat-maksiat lainnya. Baik secara jangka panjang maupun jangka pendek.

Selanjutnya, kita bisa lihat juga dari tinjauan agama. Di dalam Al Quran telah disebutkan:

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al Isra' [17] : 32)

Allah SWT melarang hamba-hamba-Nya untuk melakukan zina, bahkan mendekatinya saja dilarang. Termasuk dalam hal ini segala bentuk aktivitas yang berpotensi mengarah pada perzinahan. Agama Islam memerintahkan umatnya agar menjauhi perzinahan dalam segala macam bentuknya. Sedangkan lokalisasi merupakan salah satu bentuk dukungan terhadap praktek perzinahan. Bahkan praktek lokalisasi sampai dilegalkan dengan alasan demi mencegah kemudhoratan yang lebih besar. Ini sangat tidak bisa diterima dari sisi agama. Sekali kita diperintahkan untuk menjauhinya, maka segala bentuk praktek yang mengarahkan kita pada perzinahan harus dijauhi. Sungguh merupakan pembodohan umat jika membolehkan program lokalisasi dengan mendasarkan kepada dalil-dalil ulama yang tidak ditujukan untuk itu.

Dari Abdullah bin Umar dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapkan wajah ke kami dan bersabda: “Wahai golongan Muhajirin, lima perkara apabila kalian mendapat cobaan dengannya, dan aku berlindung kepada Allah semoga kalian tidak mengalaminya; Tidaklah kekejian (mesum) menyebar di suatu kaum, kemudian mereka melakukannya dengan terang-terangan kecuali akan tersebar di tengah mereka penyakit Tha’un (wabah pes) dan penyakit-penyakit yang belum pernah terjadi terhadap para pendahulu mereka. ...........". (HR Ibnu Majah nomor 4009, lafal baginya, dan riwayat Al-Bazar dan Al-Baihaqi, shahih lighoirihi menurutSyaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wat-Tarhib hadits nomor 1761).

Dari hadis di atas disebutkan bahwa jika perzinahan telah dilakukan secara terang-terangan dan dilegalkan, maka tinggal tunggu waktu tersebarnya penyakit di tengah masyarakat. Berdasarkan sabda Rasulullah ini, segala bentuk perzinahan baik yang dilegalkan sekalipun seperti lokalisasi tidak akan mampu berperan sebagai kontrol penyebaran penyakit seperti diduga sekelompok orang. Jika praktek perzinahan didukung apalagi dilegalkan maka tinggal tunggu waktu Allah akan menurunkan azabnya.

Mengenai ancaman azab Allah bagi kaum yang melegalkan zina, sudah sangat jelas diterangkan di beberapa Hadis Rasulullah, diantaranya:

Dari Maimunah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Umatku akan senantiasa dalam kebaikan selama di antara mereka tidak bermunculan anak hasil zina, jika anak hasil zina telah bermunculan di antara mereka, maka dikawatirkan Allah akan menghukum mereka semua.” (HR Ahmad 25600 sanadnya hasan, menurut Al-Albani hasan lighairi dalam shahih At-Targhib wat-Tarhib no 2400).

Rasulullah saw bersabda: “Jika zina dan riba telah merebak di suatu kaum, maka sungguh mereka telah membiarkan diri mereka ditimpa azab Allah.” (HR. Al-Hakim).

Sudah jelas mengenai ancaman Allah. Merajalelanya praktek perzinahan, apalagi dilegalkan, merupakan pemicu turunnya azab Allah.

Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (QS. Yubus [10]:36).

Jadi tinggal dipilih, percaya kepada Allah dan RasulNya atau percaya kepada dugaan-dugaan sekelompok orang yang berlabel pakar, cendikiawan, atau ahli sosial.

Alasan ekonomi juga seringkali dijadikan alasan penutupan lokalisasi. Ini menunjukkan kurang percayanya umat kepada janji Allah. Padahal Allah telah berfirman:

Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al A'raf [7] : 96)

Yang patut kita tanamkan dalam-dalam pada diri kita adalah pentingnya percaya kepada janji Allah SWT. Jika Allah Azza Wa Jalla telah berfirman agar manusia menjauhi perbuatan zina, maka kewajiban kita adalah mengikuti perintah tersebut. Apabila telah demikian, maka Insha Allah, Allah akan menjauhkan kita dari azab dan akan menurunkan keberkahan melalui rejeki kita yang halal walaupun sedikit.

Dengan demikian, solusi penutupan lokalisasi adalah cara yang paling tepat. Begitu juga halnya dengan semua bentuk praktek prostitusi. Semuanya harus segera ditiadakan. Tidak ada alasan lain. Keberadaan lokalisasi cenderung hanya akan membuat para pelaku bisnis ini semakin nyaman dan aman karena bisnis mereka dilegalkan dan dilindungi oleh pemerintah. Tentu lain ceritanya jika lokalisasi, prostitusi, dan segala bentuk perzinahan dilarang secara tegas dan konsisten, serta para pelakukanya diburu, dan diberi hukuman atau pembianaan secara intensif. Hal ini akan memicu mereka untuk mencari alternatif pekerjaan lain.

Untuk itu konsistensi pemerintah dalam memberantas praktek prostitusi sangat diperlukan. Penutupan lokalisasi harus diikuti dengan program pemberantasan praktek prostitusi lainnya, baik yang terselubung maupun yang terang-terangan. Baik yang berkelompok dan terorganisir maupun yang perorangan. Apabila telah demikian, dengan sendirinya para pelaku bisnis ini secara otomatis akan terdorong untuk meninggalkan bisnis haram ini.

Jika mereka tetap ngotot bertahan, maka mereka harus rela kejar-kejaran dengan aparat satpol PP dan dinas sosial, keluar masuk penjara, masuk panti rehabilitasi, atau menjalankan bisnis mereka secara nomaden dengan penuh harap-harap cemas. Jika masih ngotot juga, akhirnya segala bentuk bisnis ini akan keluar dari batas negara kita dengan sendirinya kerena tidak tersedianya lagi tempat aman dan nyaman bagi mereka.

Minggu, 08 Juni 2014

AGAR MENDAPATKAN PEMIMPIN YANG ADIL

Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, suasana kehidupan masyarakat Indonesia mulai panas dan seru. Setiap orang mulai menyerukan dan mempromosikan sosok Capres-Cawapres idolanya. Bahkan beberapa orang seolah terjerumus terlalu jauh dalam gegap gempita perhelatan politik tersebut. Aktivitas mereka mulai mengarah kepada black campaign, yaitu upaya merusak citra tokoh Capres yang tidak diidolakannnya, dan memuji secara berlebihan Capres idolanya. Hal ini sungguh bukanlah tindakan yang terpuji.

Sebenarnya, apabila kaum muslimin Indonesia benar-benar mengharapkan mendapatkan pemimpin yang adil dan soleh seperti para Khulafaur Rasyidin dan pemimpin-pemimpin Islam hebat lainnya, maka seharusnya kaum muslimin kembali menengok dan menelaah buku panduan umat Islam, yaitu Al Quran dan Al Hadis. Tentu di dalam keduanya telah ada kaidah-kaidah bagaimana caranya agar umat ini mendapatkan pemimpin yang adil. Dan tentu ada juga pedoman-pedoman agar kita dijauhkan dari pemimpin yang zalim dan khianat.

Dalam hal ini, setiap muslim harus meyakini bahwa Allah SWT adalah pengatur skenario setiap sendi kehidupan kita. Tidak ada sehelai daun yang jatuh yang tidak diketahui oleh Allah (QS. Al-An’aam: 59). Allah telah mengabarkan rumus-rumus skenario-Nya tersebut kepada kita di dalam Al Quran dan juga melalui Al Hadis. Termasuk rumus skenario yang berkenaan dengan pemimpin seperti apa yang akan dikirimkan kepada umat-Nya. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan demi mengharapkan skenario yang baik dari Allah adalah cukup dengan mengikuti panduan Al Quran dan As Sunnah, istiqomah, dan selalu berprasangka baik kepada Allah.

Di dalam Al Quran, Allah SWT berfirman:
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menguasai sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (al-An’am: 129)

Makna ayat ini ialah sebagaimana Kami kuasakan orang-orang yang merugi dari kalangan umat manusia itu kepada segolongan kaum jin yang telah menyesatkan mereka, maka Kami berbuat hal yang sama terhadap orang-orang yang zalim. Yakni Kami kuasakan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain, Kami binasakan sebagian dari mereka melalui sebagian yang lain, dan Kami timpakan pembalasan atas sebagian mereka dengan melalui sebagian yang lainnya, sebagai pembalasan Kami atas perbuatan aniaya mereka dan kesesatan mereka. (Tafsir Ibnu Katsir).

Abdul Malik bin Marwan, seorang khalifah dinasti Ummayah, pernah mengatakan, “Berbuat adillah kalian, wahai rakyat! Kalian menginginkan kami untuk berjalan sesuai dengan perihidup Abu Bakr dan ‘Umar, padahal kalian tidak berbuat demikian terhadap kami dan pada diri kalian.” (Sirajul Muluk, hlm. 100—101, dinukil dari Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 165—166)

Inilah hakikat yang perlu diketahui dan selalu diingat, bahwa munculnya penguasa zalim adalah karena amal sebagian besar masyarakat kita yang juga zalim. Itu bisa dilihat dari merajalelanya perbuatan maksiat, meninggalkan sunnah, mengagung-agungkan bid’ah, tahayul, khurafat, dan perbuatan syirik kepada Allah Azza wa Jalla. Apabila masyarakat masih sering menzalimi diri mereka sendiri seperti ini, maka tidak heran jika akan diberi ujian oleh Allah dengan dikirimkan pemimpin-pemimpin yang akan menzalimi dan khianat terhadap rakyat.

Maka dari itu, merupakan suatu keharusan bagi setiap umat Islam dimanapun berada untuk meningkatkan amal soleh dan amal ibadah. Menghidupkan dakwah untuk beramar makruf nahi munkar, menunjukkan ahlak yang baik kepada masyarakat sekitar, menjadi teladan yang baik dalam masyarakat, menegakkan sunnah, dimana kesemuanya ini demi tercapainya misi Islam sebagai rahmatan lil 'alamin. Melalui gerakan menghidupkan dakwah, maka diharapkan ahlak masyarakat akan menjadi semakin baik. Apabila demikian, maka dengan izin Allah, akan dikirimkan kepada rakyat yang baik ini pemimpin yang adil dan soleh yang akan membawa kesejahteraan dan keamanan kepada mereka.

Di sisi lain, jika misalkan pemimpin yang kita dapatkan belum sesuai harapan, maka tetaplah beramal soleh dan taat kepada pemimpin.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta ulil amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu adalah yang terbaik untuk kalian dan paling bagus dampaknya.” (QS. an-Nisaa’: 59)

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau bersabda, “Wajib atasmu untuk mendengar dan taat, dalam kondisi susah maupun mudah, dalam keadaan semangat ataupun dalam keadaan tidak menyenangkan, atau bahkan ketika mereka itu lebih mengutamakan kepentingan diri mereka di atas kepentinganmu.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [6/469])

Dari riwayat hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib atas setiap individu muslim untuk selalu mendengar dan patuh dalam apa yang dia sukai ataupun yang tidak disukainya, kecuali apabila dia diperintahkan untuk melakukan maksiat. Maka apabila dia diperintahkan untuk melakukan maksiat maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh patuh.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [6/470]).

Demikian juga hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada ketaatan dalam rangka bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam perkara ma’ruf.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [6/471])

Salamah bin Yazid al-Ju’fi radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam :“Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika pemimpin kami adalah pemimpin yang meminta kepada kami hak mereka dan tidak memberikan kepada kami hak kami?”… Beliau menjawab, “Dengar dan taati, sesungguhnya kewajiban mereka apa yang dibebankan kepada mereka dan kewajiban kalian apa yang dibebankan kepada kalian.” (Sahih, HR. Muslim)

Sekalipun pemimpin tersebut berbuat zalim dan aniaya, kita tetap diwajibkan untuk taat. Kita harus bersabar dalam menghadapi penguasa muslim yang zalim kepada rakyatnya.

Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah menjelaskan diantara prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah: “Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zhalim. Kami tidak mendoakan kejelekan kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Dan kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” (Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi Al-Hanafi rahimahullah)

Dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Akan ada para pemimpin/penguasa setelahku yang mengikuti petunjuk bukan dengan petunjukku dan menjalankan sunnah namun bukan sunnahku. Dan akan ada di antara mereka orang-orang yang memiliki hati laksana hati syaitan yang bersemayam di dalam raga manusia.” Maka Hudzaifah pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus kulakukan jika aku menjumpainya?” Beliau menjawab, “Kamu harus tetap mendengar dan taat kepada pemimpin itu, walaupun punggungmu harus dipukul dan hartamu diambil. Tetaplah mendengar dan taat.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [6/480]).

Dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan muncul para penguasa yang kalian mengenali mereka namun kalian mengingkari -kekeliruan mereka-. Barangsiapa yang mengetahuinya maka harus berlepas diri (dengan hatinya) dari kemungkaran itu. Dan barangsiapa yang mengingkarinya (minimal dengan hatinya, pent) maka dia akan selamat. Akan tetapi yang berdosa adalah orang yang meridhainya dan tetap menuruti kekeliruannya.” Mereka -para sahabat- bertanya, “Apakah tidak sebaiknya kami memerangi mereka?”. Maka beliau menjawab, “Jangan, selama mereka masih menjalankan sholat.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [6/485]).

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (Syarh Muslim [6/485])

“Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membencinya dan membenci kalian, yang kalian melaknatinya dan melaknati kalian.” Dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita melawannya dengan pedang?” Beliau mengatakan, “Jangan, selama ia mendirikan shalat (di antara) kalian dan jika kalian melihat pada pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci maka bencilah amalnya dan jangan kalian cabut tangan kalian dari ketaatan.” (Sahih, HR. Muslim)

Beliau ditanya tentang para penguasa oleh ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu: Kami katakan, “Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang taat kepada orang yang bertakwa, akan tetapi tentang orang yang melakukan demikian dan demikian”—ia menyebutkan kejelekan-kejelekan. Maka Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bertakwalah kepada Allah, dengarkan dan taati (penguasa itu).” (HR. Ibnu Abu ‘Ashim, asy-Syaikh al-Albani rahimahullahu mengatakan, “Hadits yang sahih”, dinukil dari Mu’amalatul Hukkam, hlm. 124)

Ketika Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu keluar ke daerah Rabadzah karena menuruti perintah Khalifah ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu disebabkan ia memiliki sebuah permasalahan dengan seseorang, ia berjumpa dengan serombongan orang Iraq yang mengatakan, “Wahai Abu Dzar, sungguh telah sampai kepada kami perlakuan yang menimpamu. Maka tegakkanlah bendera (maksudnya ajakan untuk memberontak), niscaya akan datang kepadamu orang-orang dari mana saja kamu mau.” Maka beliau menjawab, “Pelan-pelan wahai kaum muslimin. Sungguh saya mendengar Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Akan datang setelahku para penguasa maka muliakanlah dia. Barang siapa yang menghinakannya berarti ia telah membuat satu lubang dalam Islam dan tidak akan diterima taubat darinya sampai ia mengembalikannya seperti sebelumnya’.” (Riwayat Ibnu Abu ‘Ashim dalam as-Sunnah no. 1079, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanadnya sahih.”)[3]

Jika kita memiliki kemampuan dan kesempatan maka sampaikanlah nasehat-nasehat yang baik kepada pemimpin dengan harapan akan terbuka hati mereka. Hal ini wajib bagi orang-orang yang mampu -dari kalangan ulama atau yang lainnya- untuk menasehati penguasa muslim yang melakukan penyimpangan dari hukum Allah dan Rasul-Nya. Namun hal ini harus dilakukan tanpa menyebarluaskan aib-aib mereka di muka umum.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Iyadh bin bin Ghunm radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa maka janganlah dia menampak hal itu secara terang-terangan/di muka umum, akan tetapi hendaknya dia memegang tangannya seraya menyendiri bersamanya -lalu menasehatinya secara sembunyi-. Apabila dia menerima nasehatnya maka itulah -yang diharapkan-, dan apabila dia tidak mau maka sesungguhnya dia telah menunaikan kewajiban dirinya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim dengan sanad sahih, lihat al-Ma’lum, hal. 23, lihat juga perkataan asy-Syaukani dalam kitabnya as-Sail al-Jarar yang dikutip dalam kitab ini hal. 44).

Sikap yang benar untuk menyudahi kezaliman penguasa adalah dengan memperbaiki amal kita baik dari sisi akidah, metode dakwah, ibadah, maupun akhlak serta mengikuti ajaran Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi penguasa.

Al-Hasan al-Bashri rahimahullahu mengatakan, “Ketahuilah—semoga Allah Azza wa Jalla memberimu ‘afiyah (keselamatan)—bahwa kezaliman para raja merupakan azab dari Allah Azza wa Jalla. Dan azab Allah Azza wa Jalla itu tidak dihadapi dengan pedang, akan tetapi dihindari dengan doa, taubat, kembali kepada Allah Azza wa Jalla , serta mencabut segala dosa. Sungguh azab Allah Azza wa Jalla jika dihadapi dengan pedang maka ia lebih bisa memotong.” (asy-Syari’ah karya al-Imam al-Ajurri t, hlm. 38, dinukil dari Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 166—167).

Untuk itu kita harus percaya dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah mengenai skenario amanah kepemimpinan ini. Selama kita melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan Rasulnya kita harus percaya bahwa Allah akan selalu menepati janjiNya.

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan menzalimi seorang mukmin yang berbuat baik. Di dunia dia akan mendapatkan balasan dan di akhirat ia akan mendapatkan pahala. Sementara itu, orang kafir (yang berbuat baik) akan diberi kebaikan oleh Allah di dunia, sementara di akhirat ia tidak akan mendapatkan pahala”. (HR. Muslim)