Sabtu, 21 Januari 2012

BEKERJA KERAS VS BEKERJA CERDAS



Pola pikir dan budaya kerja yang sepertinya harus mulai direview atau di-redefinisi adalah pola pikir "bekerja keras". Dalam banyak korporasi, perusahaan, lembaga pemerintahan, dan lain sebagainya, selalu didoktrinkan untuk bekerja keras agar profit perusahaan meningkat, karir segera melesat, dan bisa lebih cepat dipromosikan naik jabatan atau golongan. Kenyataannya, sistem seperti ini tidak berhasil membawa kemajuan berarti, karena permasalahan sosial malah semakin banyak bermunculan. Hasil dari kerja keras pun akhirnya banyak tersedot dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan sosial tersebut. Kebanyakan kaum muslimin berpikir bahwa kerja keras itu adalah ibadah. Sehingga perlu dimaksimalkan. Jadi kemudian banyaklah orang-orang bekerja dengan begitu giatnya. Berangkat sebelum subuh, dan pulang hingga larut malam, untuk mendapat predikat: "Pekerja Keras".

Namun, ada satu hal yang dilupakan dalam konsep berpikir yang demikian. Memang benar bahwa bekerja adalah ibadah. Tetapi perlu diingat pula bahwa sebenarnya ibadah yang lain juga banyak, dimana masing-masing ibadah harus juga dipenuhi haknya. Jadi tidak hanya "ibadah bekerja" saja yang selalu dipenuhi, sementara ibadah yang lain ditinggalkan. Misalnya sholat jama'ah di masjid, meluangkan waktu untuk membaca ayat-ayat suci Al-Quran, manghadiri majellis ta'lim, memberikan perhatian secara langsung kepada anak dan istri di rumah, bersilaturrahmi dengan keluarga dan tetangga, dan lain sebagainya.

Apabila ditinjau ulang, apakah memang benar dengan bekerja keras, rezeki seseorang akan bertambah atau profit suatu korporasi secara keseluruhan bisa meningkat? Ini memang benar. Seperti janji Allah dalam surat Huud ayat 15:

Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. (QS. Huud : 15)

Akan tetapi, mengingat orang-orang yang berlomba-lomba mengejar dunia memiliki kecenderungan menjadi lalai atau mengentengkan pada urusan-urusan ibadah yang lain, maka akibatnya fatal. Apa yang mereka usahakan selama di dunia akan menjadi sia-sia di akhirat kelak. Padahal dunia ini adalah kehidupan sementara sedangkan akhirat adalah tempat kehidupan yang kekal dan abadi.

Selain itu, karena kelalaian pada ibadah yang lain, akhirnya kesibukan bekerja hingga lupa waktu bisa memicu timbulnya permasalahan-permasalahan sosial. Baik dalam lingkungan keluarga, atau masyarakat secara luas. Kasus "broken home", kesenjangan sosial, penurunan moralitas, kriminalitas yang meningkat, dan lain sebagainya adalah beberapa bentuk akibat yang dapat ditimbulkan.

Karenanya, mereka yang hanya menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya akan mengalami seperti yang difirmankan Allah dalam kelanjutan surat Huud ayat 16:

Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan? (QS. Huud : 16)

Jadi, jangan sampai terpaku dalam konsep "bekerja keras" untuk sukses. Kita harus mulai mengusung slogan "bekerja cerdas". Seseorang yang bekerja secara cerdas akan selalu menyeimbangkan usaha untuk dunia dengan usaha untuk akhirat. Mereka mengusahakan urusan dunia, tetapi tetap tidak lalai dalam perkara akhirat. Mereka tidak terlena pada upaya bekerja keras untuk meningkatkan taraf hidup, karena mereka meyakini bahwa rezeki mereka telah ditentukan oleh Allah. Mereka bekerja sesuai dengan kewajibannya, lalu bersegera untuk memenuhi hak dari ibadah-ibadah yang lainnya.

Orang yang bekerja cerdas ada dua tingkatan atau dua level. Level pertama adalah mereka yang selalu bersyukur. Tanda-tanda orang yang seperti ini adalah gemar bersedekah dan berinfaq. Mereka yang gemar menafkahkan hartanya di jalan Allah, Allah SWT akan membalas dengan sepuluh kali lipat, bahkan bisa 700 kali lipat atau bahkan tidak terhingga.

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS Al Baqarah : 261)

Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat gandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak. (QS. Al Hadid : 18)

Pada level selanjutnya dimiliki oleh mereka yang bertakwa. Mereka sangat meyakini bahwa Allah akan selalu menunjukkan jalan-jalan kemudahan dalam urusan-urusannya. Mereka tidak pernah ada rasa takut dan khawatir akan rezeki yang akan mereka terima. Mereka selalu istiqomah. Kedekatannya dengan Allah SWT membuat masalahnya banyak yang dimudahkan untuk diselesaikan. Rezeki orang yang berada pada level ini adalah rezeki yang datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Orang yang berada pada level ini adalah orang yang hati, pikiran, ucapan dan tindakannya sangat terjaga.

Akhir kata, ada satu hal yang perlu kita ingat. Bekerja secara cerdas tidaklah semudah yang dibayangkan, karena tentunya godaan dan cobaan akan selalu datang menerpa untuk menguji konsistensi kita. Apapun yang terjadi kita harus selalu istiqomah di jalan Allah. Yakinlah bahwa Allah akan selalu menunjukkan jalan-jalan kemudahan bagi hamba-hambanya yang bersyukur dan bertawakkal.

Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. (QS. Al Lail : 5-7)

Senin, 19 Desember 2011

DPD DALAM CITA-CITA PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA

Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa dan budaya daerah. Membentang dari Sabang hingga Merauke, pulau-pulau besar dan kecil yang kemudian secara sosio geografis dikelompokkan menjadi 33 provinsi. Semenjak tahun 2004, aturan sistem politik ketatanegaraan Indonesia menentukan bahwa masing-masing provinsi harus mengirimkan 4 perwakilannya untuk duduk di kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Lembaga ini merupakan lembaga legislatif setingkat DPR. DPD dipilih secara langsung dalam pemilu oleh masyarakat di daerah tanpa melalui sistem birokrasi partai politik. Dengan konsep bikameral (dua kamar) dalam MPR, yaitu DPR dan DPD, diharapakan keberadaan DPD dapat menjadi penyeimbang kekuatan.

Keberadaan DPD sampai sejauh ini memang belum mendapat tempat yang pas dalam sistem legislatif, karena hanya diberi wewenang untuk sekedar memberikan masukan, usulan, dan pertimbangan. Tidak mempunyai hak pengambilan keputusan dalam perumusan undang-undang seperti halnya anggota DPR. Hal inilah yang mengakibatkan peranannya belum maksimal dalam percaturan politik tanah air. Tentunya hal ini sedang menjadi bahan perjuangan para elit politik di Senayan dalam pembangunan sistem politik yang lebih mencerminkan dekmokrasi kerakyatan.

Terlepas dari proses perjuangan dalam upaya pemantapan wewenang DPD dalam peta politik nasional, sebenarnya sebagai anggota DPD tersirat sebuah misi yang mulia. Setiap anggota DPD bisa berperan aktif dalam meningkatkan persatuan dan kesatuan antar daerah. DPD bisa menjadi role model perwujudan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Seperti yang kita ketahui, setiap anggota DPD mewakili daerah masing-masing dan di Senayan, mereka bertemu dengan perwakilan dari daerah-daerah lainnya. Ini merupakan sebuah kesempatan emas. Forum DPD dapat digunakan untuk meningkatkan intensitas dan kualitas silaturrahmi antar anggota perwakilan daerah. Di dalam forum silaturahmi ini, mereka bisa saling berbagi pemikiran dan pengalaman, serta saling memberi masukan.

Cerita sukses dari suatu daerah dapat dibagi ke perwakilan daerah lainnya sehingga mereka bisa mendapatkan inspirasi dalam membuat program-program untuk memajukan daerah masing-masing. Pengalaman kegagalan program di daerah pun dapat dibagi dengan anggota DPD yang lain, sebagai bahan pembelajaran bersama, agar daerah lain tidak mengalami kegagalan serupa. Dengan saling terbuka, dan saling memberi masukan positif dalam pengembangan daerah masing-masing, maka akan tercipta hubungan yang erat antar sesama anggota DPD. Hubungan seperti ini sangat memungkinkan terbentuk, karena dalam tubuh DPD tidak ada kepentingan partai politik. Hubungan antar anggota DPD adalah murni hubungan antar perwakilan daerah, yang sama-sama ingin memajukan daerahnya masing-masing.

Jalinan hubungan yang telah dibina dengan baik ini, kemudian harus tersampaikan ke daerah masing-masing dan diketahui secara nasional. Hal ini agar rakyat di daerah mengetahui bahwasanya persatuan dan kesatuan bangsa telah terbangun di Senayan. Masyarakat tentunya akan melihat ini sebagai hal yang baik, dimana wakil-wakil daerah mereka yang ada di pusat dapat menjalin hubungan yang baik antar sesama mereka. Baiknya hubungan antar anggota DPD tentunya secara psikis juga akan dapat memberikan pengaruh dalam pembentukan hubungan antar masyarakat daerah yang lebih baik. Ini merupakan pembentukan iklim "hubungan baik" dalam skala nasional yang dimulai dari gedung MPR di Senayan.

Selanjutnya, dalam upaya nyata, anggota DPD dapat menjembatani pengarahan hubungan kerjasama antar daerah yang lebih kondusif dan terarah. Dengan modal hubungan baik antar sesama mereka, Anggota DPD dapat berperan dalam perumusan program-program kerjasama antar daerah yang saling melengkapi. Kekurangan daerah yang satu dapat dilengkapi dengan kelebihan yang ada di daerah lain, begitu juga sebaliknya. Dengan konsep pembangunan daerah yang saling melengkapi ini, maka pemerataan pembangunan dapat segera terwujud. Selain itu, anggota DPD juga harus bisa menjembatani setiap permasalahan antar daerah yang terjadi menuju penyelesaiannya. DPD bisa menjadi penengah dalam penyelesaian konflik dan permasalahan antar daerah.

Kamis, 15 Desember 2011

KEPEMIMPINAN ALA BARAT DAN ISLAM

Kiblatnya peradaban masa kini adalah ke dunia barat (western). Apa-apa yang berasal dari barat selalu dianggap sesuatu yang modern. Termasuk di dalamnya pemikiran-pemikiran mengenai teori kepemimpinan. Kesuksesan peradaban barat, membuat semua teori kepemimpinan berkiblat ke arah sana.

Bagi pemikir kepemimpinan modern, kepemimpinan secara umum bisa dipelajari, dan dilakukan oleh siapa saja. Kemampuan kepemimpinan seseorang diyakini bisa ditingkatkan melalui serangkaian pembelajaran dan simulasi. Teori kepemimpinan yang dirumuskan oleh pemikir-pemikir modern dikemas dalam suatu sistem penyusunan yang menarik, seolah-olah bisa dilakukan oleh semua orang yang memiliki kepentingan dalam kepemimpinan.

Berikut adalah beberapa definisi mengenai pemimpin atau leader dari pemikir-pemikir era modern:

Kepemimpinan menurut George R. Terry: “Leadership is the relationship in which one person, or the leader, influences others to work together willingly on related tasks to attain that which the leader desires”. --- Kepemimpinan adalah sebuah hubungan dimana satu orang atau pemimpin, mempengaruhi yang lainnya untuk bekerja bersama dengan penuh hasrat dalam pekerjaan yang saling berhubungan untuk mencapai apa yang diinginkan oleh pemimpin.

Kepemimpinan adalah proses mendorong dan membantu orang lain untuk bekerja dengan antusias guna mencapai tujuan (Keith Davis, 1985).

John C. Maxwell mengatakan bahwa inti kepemimpinan adalah mempengaruhi atau mendapatkan pengikut.

Leadership is the art of getting someone else to do something you want done because he wants to do it. -- Kepemimpinan adalah seni membuat orang lain melakukan sesuatu yang kamu inginkan karena dia menginginkan melakukannya.(Dwight D. Eisenhower)

Jadi ada dual hal pokok dalam konsep kepemimpinan modern ala barat, yaitu MEMPENGARUHI ORANG LAIN dan MENCAPAI TUJUAN. Kepemimpinan merupakan sarana untuk mencapai tujuan dari seorang pemimpin atau tujuan organisasi. Sedangkan, proses pencapaian tujuan adalah dilakukan pemimpin dengan memberikan pengaruh kepada orang lain.

Sementara itu, gaya kepemimpinan dalam Islam adalah seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Gaya kepemimpinan Nabi Muhammad adalah sesuai dengan ayat-ayat Allah SWT (Al Qur’an). Seperti diriwayatkan dari Aisyah ra bahwa akhlak Rasulullah SAW itu adalah Al Qur’an. Artinya setiap tindakan Nabi SAW adalah sesuai dengan petunjuk Al Qur’an atau tindakan Nabi itu adalah manifestasi dari Al Qur’an.

Kepemimpinan Nabi Muhammad adalah kepemimpinan Islam yang ideal. Hal ini karena beliau adalah seorang yang maksum atau bebas dari kesalahan. Apa-apa yang dilakukan Rasulullah adalah berasal langsung dari wahyu Allah. Beliau adalah sebaik-baiknya suri teladan bagi umat manusia. Allah telah menegaskan bahwa setiap umat Islam wajib untuk mengikuti segala perilaku, anjuran, dan perintah Nabi Muhammad. Ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad adalah pemimpinnya seluruh umat islam. Nabi Muhammad adalah figur utama dan sentral dalam kepemimpinan Islam.


Selain itu, Nabi Muhammad juga merupakan pemimpin dari semua Nabi dan Rasul. Dimana ini berarti, ketika Nabi Muhammad telah diutus ke tengah muka bumi, maka pengikut Nabi yang lain harus mengikuti Nabi Muhammad, sebagai utusan yang terakhir dan ajaran-ajaran Beliau harus terus diikuti sampai akhir zaman.

Dari sini dapat dilihat perbedaan pokoknya. Apabila dalam konsep kepemimpinan barat, kepemimpinan merupakan sarana untuk mencapai tujuan dan proses kepemimpinan dilakukan dengan mempengaruhi orang lain, maka dalam Islam, kepemimpinan merupakan sarana dakwah bahwa islam adalah rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi semesta alam), sedangkan proses kepemimpinan dilakukan melalui cara-cara yang sesuai dengan tuntunan Al Quran dan Al Hadis, sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulnya, Nabi Muhammad SAW.

Firman Allah SWT ; Artinya : “Dan Kami jadikan di antara mereka imam-imam (pemimpin) yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami tatkala mereka sabar, dan adalah mereka yakin kepada ayat-ayat Kami”. (As Sajdah : 24)

Konsep kepemimpinan modern sebenarnya telah tercakup dalam konsep kepemimpinan Islam. Nabi Muhammad juga memberikan pengaruh dan ajakan sesuai petunjuk Allah kepada masyarakat Quraisy dengan tujuan agar mereka meninggalkan kemusyrikan menyembah berhala, dan masuk dalam Islam. Namun peranan kepemimpinan dalam Islam tidak hanya sampai di sini saja, karena tujuannya adalah lebih jauh dan lebih luas, yaitu untuk menjadikan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin. Agar Islam didakwahkan ke seluruh penjuru negeri dengan pesan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan cinta damai. Islam adalah The best choice of the way of life, jalan hidup terbaik yang diridhoi oleh Allah. Proses pencapaian syiar ini dilakukan oleh seorang pemimpin dengan menjalanakan segala aspek kepemimpinannya sesuai dengan tuntunan Al Quran dan Al Hadis.

Mereka yang dipimpin diperintahkan untuk selalu taat dan patuh kepada pemimpin yang menegakkan proses kepemimpinannya sesuai tuntunan Allah dan rasulnya. Ini adalah dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan dalam satu sistem kepemimpinan. Jadi bukan hanya si pemimpin yang dituntut untuk melakukan proses kepemimpinan secara baik, akan tetapi yang dipimpin juga dibebani tanggung jawab untuk taat dan patuh. Apabila ada perselisihan pendapat maka dicarilah jalan penyelesaian yang paling sesuai dengan tuntunan Al Quran dan Al Hadis.

Firman Allah SWT; Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, ta’atlah kamu kepada Allah dan ta’atlah kamu kepada Rasul dan kepada pemangku kekuasaan di antaramu. Maka jika kamu berselisih dalam sesuatu (urusan), kembalikanlah ia kepada (Kitab) Allah dan (Sunnah) Rasul, jika kamu benar-benar beriman terhadap Allah dan hari kemudian. Itulah yang lebih baik dan lebih bagus kesudahannya” (An Nisaa’ : 59)

Setiap orang berkewajiban untuk selalu tetap menjaga ukhuwah (persatuan) di tengah-tengah sistem kepemimpinan, apapun yang terjadi. Pemimpin menghormati yang dipimpin dan yang dipimpin menghormati yang memimpin.

Sesuai sabda Nabi SAW : “Barangsiapa tidak menyukai sesuatu dari tindakan pemimpin maka hendaklah bersabar. Sesungguhnya orang yang meninggalkan jama’ah walaupun hanya sejengkal maka wafatnya tergolong jahiliyah”. (HR. Bukhari, Muslim)

Melalui sistem kepemimpinan yang sesuai dengan tuntunan syariat, dimana dibingkai dalam kerangka saling beramar makruf nahi mungkar, maka akan terbentuk sistem kepemimpinan yang saling melengkapi. Tidak ada pemimpin yang yang sempurna, (terkecuali Nabi Muhammad SAW) dan juga tidak ada rakyat yang sempurna. Inilah tujuan dari perlunya beramar makruf nahi munkar, untuk saling tolong menolong dalam hal kebaikan, dan saling mencegah untuk berbuat kemungkaran. Melalui sistem yang demikian, maka akan terbentuk rasa saling mencintai dan tercipta hubungan pemimpin dan rakyat yang sehat.

"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian, mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian". (HR. Imam Muslim dari 'Auf bin Malik Al-Asyja'i).

Proses beramar makruf nahi munkar ini dapat dicontohkan dari sebuah kisah dalam masa kepemimpinan Umar bin Khatab. Amirul Mukminin Umar bin Khattab RA suatu hari menunggang keledainya ke tengah kota. Tiba-tiba, seorang nenek menghentikan keledai yang ditumpangi Umar. Nenek itu langsung menceramahinya. "Hei Umar, aku dulu mengenalmu sewaktu kau dipanggil Umair (Umar kecil), yang suka menakuti-nakuti anak-anak di pasar Ukadz dengan tongkatmu. Maka hari-hari pun berlalu hingga kau disebut Umar, dan kini engkau Amirul Mukminin",

Kemudian nenek itu melanjutkan, "Maka bertakwalah engkau kepada Allah atas rakyatmu! Barang siapa yang takut akan ancaman Allah maka yang jauh (akhirat) akan terasa dekat. Barang siapa yang takut akan kematian tidak akan menyia-nyiakan kesempatan, dan barang siapa yang yakin akan al-hisab (hari penghitungan), ia akan menghindari azab (Allah)."

Umar hanya terdiam mendengar perkataan sang nenek tua itu. Tak satu kata pun terucap dari mulutnya. Al Jarud Al Abidy yang menemani Umar merasa terganggu dengan sikap nenek tua itu. Al Jarud berkata, "Hei Nenek, Engkau telah berlebihan atas Amirul Mukminin."

"Biarkanlah ia…" cegah Umar Ra kepada Al-Jarud, "Apa engkau tidak mengenalnya? Dialah Khaulah yang perkataannya didengar oleh Allah dari atas tujuh lapis langit maka Umar lebih berhak untuk mendengarnya", tutur Amirul Mukminin.

Bahkan dalam riwayat lain, Umar berkata: "Demi Allah, seandainya ia tidak meninggalkanku sampai malam tiba, aku akan terus mendengarkannya sampai ia menunaikan keinginannya. Kecuali jika datang waktu shalat, aku akan shalat lalu kembali padanya, sampai ia menuntaskan keinginannya."

Umar RA selalu setia mendengarkan keluhan rakyatnya. Begitulah Umar memberikan keteladanan kepada kita semua. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai pendengaran yang peka terhadap keluhan, bahkan kritikan rakyatnya. Ia menyadari betul, kekuasaannya hanyalah amanah yang harus ia tunaikan kepada para pemiliknya, yaitu rakyat yang dipimpinnya.

Seorang Pemimpin haruslah menyadari bahwa dia juga tidak lebih baik daripada yang dipimpinnya. Seorang pemimpin juga perlu untuk diingatkan ketika lalai, dan perlu diluruskan ketika salah. Kita bisa melihat contoh ini dalam masa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar, dimana beliaulah yang menggantikan kepemimpinan Islam sepeninggal Nabi Muhammad. Ini tentunya adalah beban kepemimpinan yang sangat berat karena resikonya adalah perpecahan umat islam pasca meninggalnya Nabi Muhammad.

Pesan mengenai beratnya amanah dari kepemimpinan yang pernah Beliau emban, disampaikan oleh Abu Bakar Ra saat dilantik menjadi Khalifah, "Sesungguhnya dalam posisi ini aku bukanlah yang terbaik diantara kalian. Ketahuilah kadang-kadang syaitan menguasai diriku. Bila aku baik bantulah aku. Bila aku salah luruskanlah aku. Taati aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, kalian tidak wajib menaatiku." (Khutbah ini diungkapkan dengan bermacam-macam redaksi pada Ibn Hiyam (4 : 340), Al-Tabari (3 : 303), Al-Imamah wa Al-Syiyasah (16); Ibn Katsir (5 : 248); Tarikh Al-Khulafa' (47); Al-Halabiyah (3 : 397); dan Kanz Al-Ummal (3 : 129)

Namun sayangnya, tidaklah demikian yang sering kita jumpai di era "modern" ini. Tidak semua pemimpin mau diluruskan ketika salah, dan tidaklah semua pemimpin merasa dirinya tidak lebih baik dari siapapun.

Kepemimpinan bukanlah sebuah amanah yang main-main. Tanggung jawabnya sungguh besar, sehingga tidak semua orang bisa memikul semua derajat kepemimpinan. Setiap orang punya kemampuan memikul amanah kepemimpinan yang berbeda-beda. Ada yang mampu memikul yang paling berat, tapi ada juga yang hanya mampu memikul beban yang ringan-ringan. Setiap tingkatan kepemimpinan yang dipikul merupakan suatu amanah yang suatu saat nanti akan dimintai pertanggung jawabannya.

Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup dan menjadi pemimpin umat islam, Beliau tidak serta merta memberikan posisi dan jabatan kepemimpinan pada sembarang orang, sekalipun mereka yang meminta jabatan adalah sahabat Beliau, terlebih lagi keluarga Beliau sendiri.

Riwayat dari Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “ Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda: “Ya Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut”. (HR. Muslim)

Dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa Rasulullah saw pernah menasehati sahabat bernama Abdurrahman bin Samurah r.a Beliau bersabda, "Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik pada kebenaran). Namun, jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)."

Kepemimpinan bukanlah alat yang dijadikan sarana sehingga seseorang bisa mengambil sejumlah kenikmatan dunia, seperti harta, ingin bersikap sombong di muka bumi, ingin dipuji, ingin dikenang dalam sejarah, dan lain sebagainya. Kepemimpinan haruslah selalu diorientasikan pada tujuan-tujuan dalam mendapatkan kemulian yang setinggi-tingginya di akhirat kelak. Dengan tujuan yang demikian, maka proses kepemimpinan akan selalu terarah sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulnya.

“Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri di muka bumi dan pula membuat kerusakan. Dan akhir yang baik itu hanya untuk untuk orang-orang yang bertakwa”. (Al-Qashash: 83)

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal yang tidak akan pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, yang tawadhu’ (merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi di muka bumi yakni tidak menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba Allah yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak lalim, dan tidak membuat kerusakan di tengah mereka”. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/142)

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: “Seseorang yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai mereka, memerintah dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bagiannya di akhirat. Oleh karena itu seseorang dilarang untuk meminta jabatan”. (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/469)

Mengenai perlunya sebuah kepemimpinan menjauhkan dirinya dari orientasi terhadap harta dan dunia, bisa dilihat dalam kekhalifaan Abu Bakar ketika memimpin umat Islam. Sebelum wafat, Abu Bakar berwasiat kepada putrinya Aisyah, “Kembalikanlah barang-barang keperluanku yang telah diterima dari baitul mal kepada khalifah penggantiku. Sebenarnya aku tidak mau menerima gaji dari baitul mal, tetapi karena Umar memaksa aku supaya berhenti berdagang dan berkonsentrasi mengurus kekhalifahan,” ujarnya berwasiat.

Abu Bakar juga meminta agar kebun yang dimilikinya diserahkan kepada Khalifah penggantinya, “Itu sebagai pengganti uang yang telah aku terima dari baitul mal", kata Abu Bakar. Setelah ayahnya wafat, Aisyah menyuruh orang untuk menyampaikan wasiat ayahnya kepada Umar. Umar pun berkata, “Semoga Allah SWT merahmati ayahmu.”

Dari sini kita dapat mengambil pelajaran. Sosok pemimpin besar yang telah berkontribusi besar bagi umat Islam, bersikap tidak rakus terhadap harta kekayaan. Beliau tidak menghendaki digaji bahkan mewasiatkan harta yang dia miliki untuk disumbangkan kepada kas negara. Meski ia adalah seorang khalifah, namun tetap memilih hidup sederhana demi menjaga amanah.

Contoh yang lain adalah khalifah setelah Abu Bakar, yaitu Umar bin Khatab. Sebagai Khalifah, Umar bin Khattab berkeseharian zuhud meski beliau sesungguhnya seorang yang sangat kaya. Suatu hari, jamaah kaum muslimin hendak menunaikan sholat Jumat. Ketika waktu sholat sudah dekat, dan khutbah jumat sudah saatnya disampaikan, tapi Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a belum juga keluar dari rumahnya. Sebagian jamaah mulai menduga-duga, jangan-jangan Khalifah sedang sakit karena tidak seperti biasanya ia terlambat menyampaikan khutbah Sholat Jumat.

Dan tak berapa lama kemudian Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a keluar dari rumah menemui jamaah kaum muslimin yang sudah menanti dimulainya khutbah jumat. Setelah memuji Allah dan bersholawat kepada Nabi SAW dan menyampaikan pesan taqwa kepada jamaah ia menyampaikan perihal keterlambatannya mengisi khutbah. Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a berkata, “Aku hanya memiliki selembar pakaian ini saja yang selalu aku pakai setiap hari dalam menjalankan tugas kekhalifahanku dan tadi aku mencucinya dan lama aku menungguinya hingga mengering."

Sambil berkata seperti itu Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a selalu mengibas ngibaskan pakaian gamisnya karena belum kering sepenuhnya. Umar bin Khattab pernah berkata “Rasulullah SAW telah mendahuluiku dan beliau telah memperoleh nikmat disisi Allah, begitu juga Abu Bakar juga telah berhasil mencontohnya maka ia juga beroleh nikmat disisi Allah dan sekarang tinggal aku seorang yang belum jelas nasibnya, maka akan menyesal aku bila tidak mencontoh mereka berdua”.

Hal-hal seperti inilah yang perlu dijadikan bahan renungan bersama, dimana konsep kepemimpinan yang selama ini dianut, tidaklah sesuai dengan apa yang disyariatkan dalam Islam. Bukankah kebanyakan tujuan orang ingin menjadi pemimpin adalah ingin menguasai orang, meraup keuntungan-keuntungan keduniaan, atau karena merasa diri sendiri lebih pantas memimpin dibandingkan manusia lainnya. Jadi tidaklah mengherankan apabila seseorang telah memiliki label pemimpin, maka kemewahan dunia yang dia dapatkan segera dia pertontonkan. Bisa demi gengsi atau bisa juga dengan alasan meningkatkan wibawa. Seorang pemimpin harus memiliki barang-barang dan mengenakan fasilitas-fasilitas yang paling baik. Coba bandingkan dengan Umar yang tidak malu untuk mempertontokan hidupnya yang sederhana dengan hanya memiliki selembar pakaian.

Tawaran dari kemudahan dunia dan gemerlapnya fasilitas yang bisa didapat dari sebuah kepemimpinan membuat semuanya ingin memimpin. Semuanya menginginkan menjadi pejabat. Seperti yang seringkali kita lihat di tengah-tengah kita. Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang ingin menginginkan jabatan ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kerakusan terhadap jabatan lebih hebat daripada dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing.

Rasulullah bersabda: “Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan kambing lebih merusakkan daripada seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi”. (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/178)

Hal inilah yang juga membedakan konsep kepemimpinan Islam dengan konsep kepemimpinan modern yang kita kenal selama ini. Mereka yang mengerti makna kepemimpinan akan selalu menjauhi kepemimpinan, karena mereka mengetahui bahwa dibalik kepemimpinan tersimpan amanah yang besar dan berat. Tanggung jawabnya besar, terutama pertanggung jawabannya di hadapan Allah.

Amirul Mukminin, Umar bin Khattab pernah berkata, "Kalau seandainya ada seekor domba yang mati di tepi sungai Furat nun jauh di sana, aku pasti menduga bahwa Allah akan meminta pertanggungjawabanku di hari akhirat kelak".

Hal yang perlu diketahui, mereka yang paling pantas memimpin seharusnya mereka yang memang ahli dan punya kapabilitas dalam kepemimpinan di bidangnya. Bukanlah mereka yang punya latar belakang punya hubungan kekerabatan dengan pejabat, punya popularitas karena banyak dipilih oleh masyarakat, yang paling kaya dan lain sebagainya. Apabila yang terjadi adalah demikian, maka sistem kepemimpinan yang dijalankan akan menyengsarakan rakyat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah?” Beliau menjawab: “Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat”. (HR. Bukhari)

Dengan demikian, marilah kita semua perjuangkan penegakan kepemimpinan sejati sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulnya. Ini bisa kita mulai dengan diri sendiri, dengan menjadi pemimpin untuk diri sendiri secara penuh. Jangan biarkan nafsu dan keinginan yang rendah pada dunia yang kita jadikan sebagai pemimpin diri kita. Lalu selanjutnya ketika telah berkeluarga kembangkan kepemipinan di lingkup keluarga, sebagai kepala keluarga (untuk laki-laki), dan seterusnya hingga ke lingkup yang lebih besar sesaui dengan kapabilitas kepemimpinan kita. Di sisi lain, kita harus selalu berdo'a semoga umat Islam ini bisa segera terlepas dari krisis kepempimpinan yang selama ini terjadi. Dimana kejayaan dan kedigdayaan tidak lagi berada di tangan generasi umat Islam. Tidak seperti halnya yang terjadi semenjak abad ke 8 hingga berakhir sekitar abad 13 ketika umat ini mengalami masa-masa kejayaan.