Terdapat sebuah anekdot lucu yang pernah disampaikan oleh salah seorang rekan kerja di kantor. Anekdotnya adalah sebagai berikut.
Pada suatu ketika, seorang pemuda lajang bertemu dengan seorang yang dituakan (Orang Tua) di suatu pesta pernikahan. Si Orang Tua, yang mengetahui bahwa si Pemuda belum kunjung menikah, kemudian berkata kepada pemuda tersebut, "Kapan nyusul?".
Mendengar sapaan si Orang Tua tersebut, si Pemuda pun senyum-senyum tersipu malu tidak menjawab, lalu diapun menghilang dari jangkauan pandangan si Orang Tua.
Maklum, si Pemuda memang merupakan lajang tulen di kampung. Bukan karena dia tidak mau menikah atau karena kurang usahanya, tetapi karena memang belum ada wanita yang merespon i'tikad baiknya.
Pada kesempatan yang lain, kedua orang ini bertemu kembali, namun kali ini mereka bertemu dalam suatu acara pemakaman seorang warga kampung yang meninggal dunia. Kemudian si Pemuda pun tanpa basa-basi menyapa si Orang Tua dan berkata, "Kapan nyusul, Pak?".
Anekdot di atas, dapat dikategorikan sebagai ungkapan sinisme dan sentimentil. Dimana seorang pemuda melakukan suatu sindiran serangan balik kepada si Orang Tua dengan menyampaikan suatu ungkapan yang sama, namun dalam kondisi berbeda.
Akan tetapi, di dalam anakedot tersebut, apabila bisa kita renungkan lebih jauh, sebenarnya terkadung suatu pesan. Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut.
Seseorang bisa saja telah melakukan usaha-usaha sebatas apa yang bisa dia lakukan untuk melakukan suatu kebaikan. Kebaikan ini bisa berupa apa saja sesuai dengan norma yang berlaku di tengah masyarakat, misalnya seperti yang diceritakan dalam anekdot di atas, kebaikan itu adalah menikah.
Namun, bisa saja Allah SWT belum menghendaki orang tersebut untuk berhasil melakukan kebaikan yang diinginkannya tersebut. Bentuk dari hal ini bisa berupa terdapat suatu halangan (udzur) misalnya karena belum punya penghasilan, belum mendapat restu orang tua, ada permasalahan keluarga, dan yang semacamnya. Atau bisa juga karena ada kebaikan lainnya yang lebih prioritas bagi dirinya untuk dilakukan.
Akan tetapi, seringkali masyarakat sekitar memberikan penilaian secara sepihak, tanpa adanya kemauan untuk menelusuri lebih jauh mengenai apa yang sebenarnya sedang terjadi pada diri seseorang.
Masyarakat telah kehilangan society wisdom (kebijaksanan sosial), dimana yang sering ditampilkan oleh masyarakat kita saat ini adalah lebih merupakan bentuk dari pandangan-pandangan sentimentil mereka terhadap lingkungan sekitarnya.
Seringkali masyarakat memaksakan suatu kebaikan pada seseorang dari sudut pandang mereka sendiri. Padahal, apabila kita bisa memahami kondisi orang lain, barangkali kita bisa mengetahui sebenarnya kebaikan apa yang terbaik untuk diri seseorang dalam suatu kondisi yang sedang dia hadapi sekarang.
Dengan cara berpikir yang seperti ini, maka akan terbentuk suatu masyarakat yang berbudayakan cara berpikir solutif atau mampu memberikan solusi terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di tengah-tengah mereka, bukan masyarakat yang gemar mengomentari tanpa adanya solusi.
Informasi-informasi yang didapat akan ditelusuri lebih jauh sehingga mendekati pada fakta, menganalisanya sesuai tingkat pemahamannya, sehingga akan dapat dirumuskan suatu solusi.
Sedangkan yang terjadi pada masyarakat saat ini adalah mereka mendapat informasi, lalu sesegera itu juga mereka menyampaikannya kepada orang lain, maka hal inilah yang kemudian membentuk social judgment (penilaian soial) yang dangkal terhadap seseorang. Padahal informasi itu belum tentu informasi yang benar, atau informasinya benar tetapi kurang lengkap.
QS. Al Hujurat ayat 6:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Dalam kasus anekdot di atas, si Orang Tua mendapatkan informasi bahwa si Pemuda lajang belum menikah, maka dia pun langsung memberikan komentarnya yang menyuruh si Pemuda lajang untuk segera menikah. Padahal barangkali ada informasi lainnya mengenai si Pemuda tersebut, yang belum diketahui oleh si Orang Tua, misalkan: orang tua atau saudara si Pemuda sedang manghadapi masalah, si Pemuda belum mempunyai penghasilan yang memadai untuk menikah, si Pemuda sedang memprioritaskan untuk melanjutkan sekolah, dan lain sebagainya.
Apabila si Orang Tua mau untuk menelusuri lebih lanjut informasi mengenai si Pemuda tersebut, lalu dia menganalisanya berdasarkan tingkat kebijaksanaan yang dia miliki, tentu si Orang Tua akan mengeluarkan komentar-komentar yang lebih konstruktif atau motifatif.