PENDAHULUAN
Enam puluh juta tahun yang lalu diperkirakan terdapat 30 jenis badak yang hidup di bumi. Tetapi saat ini hanya 5 jenis badak yang masih tersisa hidup di dunia, 3 jenis di Asia dan 2 jenis di Afrika. Dari 3 jenis badak yang hidup di Asia, 2 jenis diantaranya hidup di Indonesia. Kedua jenis badak yang terancam punah tersebut yaitu badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) dan badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis).
Badak Jawa (rhinoceros sondaicus) merupakan satwa endemik khas Indonesia yang kini terancam kepunahan. Tercatat hanya tersisisa sekitar 50-60 ekor yang hidup terlindungi pada areal seluas 38.543 hektar di kawasan hutan konservasi Taman Nasional Ujung Kulon. Perburuan badak bercula satu ini secara keseluruhan berhenti di tahun 1990-an, tetapi pelanggaran terhadap hak atas hutan dan ekstraksi ilegal di seputar taman, serta perubahan habitat menimbulkan ancaman yang berlangsung terus-menerus. Tidak heran hewan ini tercantum sebagai Yang Sangat Terancam dalam IUCN Red List of Threatened Species (Daftar Merah Spesies Yang Terancam dari IUCN), dan termasuk ke dalam appendix 1, yang berarti mendapat prioritas utama upaya penyelamatan dari ancaman kepunahan.
Sejak satu dekade terakhir jumlah badak Jawa tidak mengalami peningkatan berarti, bahkan cenderung stagnan. Walupun demikian, hal tersebut tidak menjadikan badak Jawa terbebas dari ancaman kepunahan. Untuk itu telah dilakukan berbagai upaya pelestarian spesies ini. Diantaranya penetapan kawasan Ujung Kulon sebagai taman nasional melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 284/Kpts-II/1992 tanggal 26 Februari 1992. Pada tahun itu pula, Komisi Warisan Alam Dunia UNESCO mengukuhkan kawasan seluas 120.551 hektar tersebut sebagai warisan alam dunia (the natural world heritage site) dengan Surat Keputusan Nomor SC/Eco/5867.2.409 Tahun 1992. Pendek kata, Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) tidak lagi hanya milik Indonesia, tetapi sudah menjadi aset dunia.
Metode konservasi ini terus berlanjut hingga sekarang, namun hasilnya tak kunjung memuaskan, terbukti dari data sensus populasi badak dalam kurun waktu satu dekade terakhir yang belum mengalami peningkatan. Untuk itu telah digagas upaya translokasi dengan membuka kantong-kantong baru habitat badak Jawa, sehingga terbebas dari ancaman kepunahan lokal. Megaproyek tersebut hingga kini masih dalam tahap pengkajian masalah mekanisme dan daerah sasaran translokasi.
PENAMAAN ILMIAH
Badak Jawa dikenal pula sebagai badak bercula satu dengan nama latin Rhinoceros sondaicus. Rhino berarti hidung, cheros berarti cula dan sondaicus menunjukkan habitat lokal badak Jawa yang terdapat tanah Sunda atau pulau Jawa. Berikut klasifikasi ilmiah dari badak Jawa:
Badak Jawa memiliki dua subspesies yang saat ini terdapat di dua tempat berbeda, yaitu:
- Rhinoceros sondaicus sondaicus, merupakan subspesies badak Jawa yang terdapat di kawasan hutan tertutup di Taman Nasional Ujung Kulon, Indonesia, dengan jumlah tersisa diperkirakan sekitar 50-60 ekor.
- Rhinoceros sondaicus annamiticus, merupakan subspesies badak Jawa yang terdapat di daerah Cat Log, kawasan hutan di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam, dengan jumlah tersisa diperkirakan sekitar 2-7 ekor.
KARAKTERISTIK FISIK
- Berwarna abu-abu kehitam-hitaman.
- Bercula satu, panjang kurang-lebih 25 cm, tetapi pada betina cula bisa saja tidak ada atau sangat kecil sekali ukurannya.
- Beratnya antara 900 sampai 2300 kg, sedangkan panjang tubuhnya antara 2 sampai 4 m.
- Tingginya dapat mencapai 170 cm.
- Kulitnya memiliki sejumlah lipatan lepas yang memberikan kesan penampakan lapis baja.
- Penampakannya serupa tetapi agak lebih kecil dibandingkan dengan badak India dimana kepalanya jauh lebih kecil dan lipatan kulitnya kurang begitu terlihat.
- Bibir atas meruncing dan dapat digunakan untuk meraih makanan dan membawanya ke dalam mulut.
KARAKTERISTIK KEHIDUPAN
- Masa hidup diperkirakan sekitar 30-40 tahun.
- Masa kehamilan sekitar 16 bulan
- Kematangan seksual pada badak Jawa betina sekitar usia 5-7 tahun dan 10 tahun pada badak jantan.
- Pola kelahiran, sekitar 2-3 anak setahun (Taman Nasional Ujung Kulon) (www.kompas.co.id/kompas-cetak/0511/24/ humaniora/)
- Struktur sosial, badak Jawa merupakan hewan soliter.
PETA PERSEBARAN, HABITAT, DAN EKOLOGI
Pada awalnya, badak Jawa diyakini tersebar di beberapa kawasan hutan hujan tropis di Asia Tenggara hingga India. Namun keberadaannya saat ini, diketahui hanya terdapat di dua lokasi, yaitu di kawasan hutan Ujung Kulon, Indonesia dan Cat Log, Vietnam.
Peta sejarah persebaran badak Jawa dapat digambarkan sebagai berikut :
Badak Jawa hidup di daerah dataran rendah hutan hujan tropis. Menyenangi daerah hutan tertutup dimana banyak terdapat daerah aliran sungai. Makanannya berupa tunas tumbuhan atau rumput. Menurut penelitian Yayasan Mitra Rhino, tak kurang dari 190 jenis tumbuhan jadi sumber pakan badak. (www.gatra.com). Yang paling digemari ialah kedondong hutan (Spondias pinnata), selungkar (Leea sambucina), dan daun nangka (Artocarpus integra).
TAMAN NASIONAL UJUNG KULON
Taman Nasional Ujung Kulon merupakan perwakilan ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah yang tersisa dan terluas di Pulau Jawa, serta merupakan habitat yang ideal bagi kelangsungan hidup satwa langka badak Jawa dan satwa langka lainnya. Terdapat tiga tipe ekosistem di taman nasional ini yaitu ekosistem perairan laut, ekosistem rawa, dan ekosistem daratan.
Taman Nasional Ujung Kulon berdiri di atas areal seluas 122.956 hektar di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten dengan letak geografis 6°30’ - 6°52’ LS, 102°02’ - 105°37’ BT pada ketinggian tempat 0 – 608 meter di atas permukaan laut. Temperatur udara berkisar antara 25° - 30° C dengan curah hujan rata-rata 3.200 mm/ tahun.
Kurang lebih 700 jenis tumbuhan terlindungi dengan baik dan 57 jenis diantaranya langka seperti; merbau (Intsia bijuga), palahlar (Dipterocarpus haseltii), bungur (Lagerstroemia speciosa), cerlang (Pterospermum diversifolium), ki hujan (Engelhardia serrata) dan berbagai macam jenis anggrek.
Satwa di Taman Nasional Ujung Kulon terdiri dari 35 jenis mamalia, 5 jenis primata, 59 jenis reptilia, 22 jenis amfibia, 240 jenis burung, 72 jenis insekta, 142 jenis ikan dan 33 jenis terumbu karang. Satwa langka dan dilindungi selain badak Jawa adalah banteng (Bos javanicus javanicus), ajag (Cuon alpinus javanicus), surili (Presbytis comata comata), lutung (Trachypithecus auratus auratus), rusa (Cervus timorensis russa), macan tutul (Panthera pardus), kucing batu (Prionailurus bengalensis javanensis), owa (Hylobates moloch), dan kima raksasa (Tridacna gigas).
Taman Nasional Ujung Kulon bersama Cagar Alam Krakatau merupakan aset nasional dan telah dinyatakan sebagai Situs Warisan Alam Dunia oleh UNESCO pada tahun 1991. Penetapan secara hukum ditunjukkan oleh SK Menteri Kehutanan No. 284/ Kpts-II/ 92.
Menurut Suraya A. Afiff, Taman Nasional Ujung Kulon masih dapat mendukung pertumbuhan populasi Badak Jawa. Kawasan ini merupakan habitat yang ideal bagi badak Jawa, karena memiliki berbagai jenis tumbuhan dan daerah rawa serta anak-anak sungai.
SENSUS BADAK JAWA
Berikut data pertumbuhan jumlah badak Jawa menurut sensus yang diadakan dari tahun 1967 – 1993 :
Berdasarkan hasil sensus Badak Jawa tahun 1997, jumlah Badak Jawa yang terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon adalah 58 ekor. (Antara, 1997). Sedangkan Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Ir. H. Awriya Ibrahim, M.Sc menyebutkan hasil sensus 2003, populasi badak Jawa ditaksir sekitar 53-63 ekor, (MH Samsul Hadi, dalam www.kompas.com/ kompas-cetak/ 0408/02/ daerah/ 118513.htm), berbeda sedikit dari taksiran sensus 2002 (55-57 ekor), dan sensus 2001 (50-65 ekor). (www.pikiran-rakyat.com/ cetak/ 0103/ 17/01.htm). Pada sensus tahun 2005, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Departemen Kehutanan, Ir. Adi Susmianto, MSc menyatakan jumlah badak Jawa sekitar 48 – 55 ekor. (Sulung Prasetyo, dalam www.sinarharapan.co.id/hiburan/index.html).
Dari data di atas diketahui badak Jawa mengalami peningkatan populasi hingga tahun 1981, dari sekitar 21-28 ekor pada tahun 1967 menjadi 51–77 ekor menurut taksiran PPA, dan 54-60 ekor menurut taksiran Sadjudin, dkk. Selanjutnya jumlahnya cenderung stagnan pada kisaran 50– 60 ekor.
ANCAMAN KEPUNAHAN
Ancaman kepunahan serta stagnansi jumlah populasi badak Jawa pada beberapa tahun terakhir ini, kemungkinan diakibatkan beberapa hal berikut :
- Luas Habitat. Ketimpangan antara luas areal hutan konservasi dengan jumlah populasi badak yang sedikit menjadikan sulitnya terjadi pertemuan antara badak jantan dan betina untuk melakukan perkawinan. Kondisi habitatnya di Semenanjung Ujung Kulon (39.000 kilometer persegi) bisa dikatakan terlalu luas bagi sekitar 50 - 60 ekor badak Jawa.
- Pola Hidup Soliter. Berbeda halnya dengan hewan lain yang hidup dalam suatu kelompok besar, badak Jawa lebih senang menyendiri atau hidup dalam kelompok keluarga kecil. Hal ini menjadikan kegiatan perkembangbiakan menjadi lambat, karena kurangnya intensitas pertemuan antar badak dewasa dalam ruang habitat yang terlalu luas untuk melakukan perkawinan. Sebagai hewan yang sangat soliter, badak Jawa juga membutuhkan perhatian yang lebih karena rentan terhadap gangguan hewan lain dan manusia.
- Pendeknya Masa Birahi. Hal ini kemungkinan juga merupakan salah satu penyebab sulitnya terjadi perkawinan. Untuk betina kematangan seksual dicapai pada umur 5-7 tahun, sedangkan badak jantan pada usia 10 tahun. Walaupun masa birahi badak Jawa belum diketahui secara pasti, mengingat umur mereka yang berkisar antara 30–40 tahun, kemungkinan masa birahi yang pendek juga perlu menjadi bahan pertimbangan penyebab stagnansi jumlah badak Jawa selama ini.
- Ketidakseimbangan Jumlah Badak Jantan dan Betina. Apabila jumlah badak jantan jauh lebih banyak dari betinanya, maka akan terjadi persaingan anatar badak jantan untuk berebut pasangan. Hal ini mengakibatkan perkembangbiakan yang lambat sehingga menghambat pertumbuhan populasi. Belum adanya data akurat mengenai berapa jumlah badak Jawa jantan dan betina menjadikan hal ini dapat menjadi kemungkinan penyebab sulitnya terjadi perkawinan.
- Sensitifitas Tinggi, hewan ini memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap pengaruh lingkungan. Sedikit gangguan saja akan membuat satwa primadona TNUK ini mengalami stress dimana kemudian berakibat pada terganggunya proses perkembangbiakan bahkan dapat berujung pada kematian. Menurut catatan Haerudin Sadjudin dalam tulisan Prachmatika dan Andri Rostita Dewi, (1999), sekitar 60% badak yang dipelihara di luar habitat aslinya justru mati. Menurutnya hewan itu tidak mampu berkembang dengan baik, bahkan menderita. Sikapnya yang sangat sensitif tersebut kemudian menjelaskan mengapa upaya pemeliharaan hewan ini di luar habitat alaminya termasuk di kebun binatang tidak dapat diterapkan. Nico van Strien menyebutkan bahwa badak Jawa pernah dipelihara di Kebun Binatang Adelaide, dan akhirnya mati pada tahun 1907. Hal ini menunjukkan bahwa membiarkannya hidup di alam liar merupakan cara terbaik demi menjaganya tetap lestari.
- Terjadinya Perkawinan Keluarga, karena jumlahnya yang sedikit dan terpisah-pisah dalam areal yang luas, maka dapat dimungkinkan terjadinya perkawinan keluarga yang menyebabkan kegagalan. Kegagalan perkembangbiakan inilah yang kemungkinan menyebabkan stagnansi jumlah badak.
- Perburuan Liar, ancaman kepunahan populasi satwa berkulit tebal ini dapat diakibatkan oleh perburuan liar yang kemungkinan masih terjadi. Tingginya nilai cula badak di pasar Internasional telah mendorong ramainya perburuan badak di Asia dan Afrika. Cula badak ini dipakai untuk obat tradisional maupun barang perhiasan.. Beberapa negara di Asia anatara lain Cina, Korea Selatan, Hongkong dan Jepang tercatat sebagai pengimpor terbesar cula badak. Negara-negara ini mengkonsumsi cula badak dan dagingnya untuk obat tradisional. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkat kebutuhan barang "langka" tersebut semakin meningkat, sehingga populasi badak bercula satu di pulau Jawa kian terancam.
Menurut merbabu.com, dua belas ekor badak Jawa terakhir yang terdapat di Sumatera telah ditembak oleh pemburu-pemburu Belanda antara tahun 1925-1930, dan setelah itu seekor lagi ditembak di dekat Tasikmalaya (Jawa Barat) pada tahun 1934. Sisa populasi badak Jawa, sekarang hanya ada di Taman Nasional Ujung Kulon, dimana keberadaannya pertama kali dilaporkan pada tahun 1861. Meskipun demikian, pada tahun 1989, sepuluh ekor badak ditemukan bertahan hidup di bagian selatan Vietnam. Apabila sejumlah badak Jawa yang hanya tersisa di dua tempat tersebut dibiarkann tanpa pengawasan, maka bisa jadi perburuan tersebut masih terus berlangsung hingga kini yang dapat berujung pada kepunahannya. - Penurunan Kualitas Habitat, walaupun perburuan secara liar terhadap badak Jawa diyakini telah berakhir sekitar tahun 1990-an, penurunan kualitas habitat akibat perambahan hutan secara ilegal yang masih terus berlangsung serta tekanan pertumbuhan hewan lain, terutama banteng, yang pertumbuhannya pesat dan terus meluas ke Semanjung Ujung Kulon diduga berpengaruh besar terhadap perkembangbiakan badak. Kompetisi yang terjadi, mengakibatkan tumbuh-tumbuhan yang menjadi bahan makanan badak lambat laun menipis dan badak Jawa akan semakin terdesak di rumah sendiri.
MENGAPA PERLU DISELAMATKAN
Kawasan konservasi di Taman Nasional Ujung Kulon menjadi satu-satunya tempat yang aman bagi kehidupan Badak Jawa di alam liar saat ini. Selain itu juga merupakan tempat yang ideal bagi kehidupan satwa liar lainnya untuk hidup berdampingan membentuk suatu keseimbangan ekosistem secara alami tanpa campur tangan manusia. Keberlangsungan pengelolaan areal konservasi ini juga tidak lepas dari keberadaan satwa endemik langka, badak Jawa, yang hingga kini masih diupayakan pelestariaannya yang lebih baik, akibat jumlahnya yang beberapa tahun terakhir cenderung stagnan.
Kawasan hutan Taman Nasional Ujung Kulon merupakan Situs Warisan Alam Dunia dimana UNESCO telah memberikan dukungan pendanaan dan bantuan teknis untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan kawasan hutan konservasi tersebut, khususnya dalam upaya perlindungan badak Jawa yang merupakan jenis "flag ship" (lambang kebanggaan) Taman Nasional Ujung Kulon.
Badak Jawa, khususnya di Indonesia, merupakan satu-satunya populasi yang masih ada dan diharapkan dapat dipertahankan kelangsungan hidupnya. Badak Jawa dikenal sebagai "jenis kunci" dalam konservasi keanekaragaman hayati. Perlindungan bagi jenis badak ini akan sangat membantu upaya perlindungan hidupan liar lainnya, dan berbagai tipe habitat terutama di kawasan hutan Ujung Kulon. Untuk itu, diperlukan upaya serius untuk mencegah kepunahannya, karena kepunahan satwa primadona ini dikhawatirkan dapat mendorong punahnya keanekaragaman flora dan fauna lainnya dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon.
RESIKO KONSERVASI TERPUSAT
Terlepas dari Keberadaan Taman Nasional Cat Tien di Vietnam, kehidupan badak Jawa secara liar di Indonesia terlindungi oleh program konservasi di Taman Nasional Ujung Kulon. TNUK merupakan satu-satunya tempat konservasi badak Jawa yang ada di Indonesia dimana telah dicanangkan sejak tahun 1994. Selama ini, kegiatan operasionalnya memang terfokus pada upaya penyelamatan mamalia paling langka tersebut yang juga merupakan maskot kebanggan TNUK.
Walaupun kehidupan badak Jawa di TNUK terjaga, namun ancaman kepunahan lokal bisa saja terjadi sewaktu-waktu, mengingat gejala alam yang di Indonesia yang tidak menentu. Gejala-gejala alam yang dimaksud dapat meliputi :
- Wabah Penyakit, konservasi badak Jawa yang terpusat pada kawasan Ujung Kulon sewaktu-waktu dapat terancam karena kemungkinan terjadinya wabah penyakit yang dapat menyebabkan kepunahan lokal.
- Bencana Alam, mengingat kondisi alam Indonesia yang rawan bencana alam karena letaknya di pertemuan lempeng dunia, maka sewaktu-waktu pergolakan alam dapat mengakibatkan badak Jawa yang tersisa musnah. Bencana alam tersebut dapat berupa gempa bumi, tsunami, meletusnya gunung berapi, banjir, kebakaran hutan dan lain sebagainya dimana pada suatu kesempatan yang tidak dapat diramalkan dapat terjadi di mana saja termasuk di kawasan Ujung Kulon. Hal tersebut dapat berakibat fatal apabila konservasi hanya digantungkan pada TNUK.
METODE TRANSLOKASI
Berkaitan dengan gejala alam di kawasan Indonesia yang tidak menentu, terlalu beresiko apabila penanganan pelestarian badak Jawa hanya dilimpahkan pada TNUK. Untuk itu perlu adanya pertimbangan agar secepatnya dilakukan upaya translokasi. Translokasi yaitu memindahkan seluruh atau sebagian satwa dari tempat asalnya ke tempat lain yang habitatnya sesuai. Konsep translokasi yang dimaksud disini merupakan upaya pemindahan beberapa ekor badak Jawa ke lokasi sasaran translokasi sehingga terbentuk kantong-kantong konservasi badak baru. Dengan demikian konservasi badak nantinya tidak hanya terpusat pada satu tempat dan ancaman kepunahan lokal dapat diminimalkan.
Saat ini baru Nepal, negara Asia yang berhasil mentranslokasikan badak. (www.kompas.co.id/kompas-cetak/0511/24/humaniora/). Negara kedua dengan populasi badak terbesar sesudah Afrika ini telah memindahkan 83 badak dari Taman Nasional Royal Chitwan ke dua taman nasional lainnya yaitu Royal Bardia dan Royal Suklaphanta.
Indonesia mungkin akan mendapatkan tantangan lebih berat dari Nepal. Dari segi pembiayaan bisa jadi lebih mahal karena Taman Nasional Ujung Kulon berupa hutan dengan pepohonan yang cukup padat, tidak seperti Taman Nasional Royal Chitwan yang berupa padang terbuka.
Upaya translokasi ini memang tidak bisa dilakukan sembarangan karena harus mempertimbangakan beberapa aspek, yaitu :
- Diperlukan kajian terhadap lokasi baru. Lokasi baru setidaknya harus memiliki sejarah pernah menjadi tempat tinggal badak di masa lalu dan memiliki ketersediaan pakan badak yang mencukupi. Selain itu perlu ditelaah mengenai kesamaan topografi, jenis tanah, tipe vegetasi, serta ketersediaan air di tempat tujuan translokasi dengan habitat alaminya saat ini di kawasan TNUK.
- Perlu dilakukan kajian secara teliti mengenai badak yang akan dipindahkan. Kajian tersebut meliputi kondisi fisik dan umur yang tepat, sehingga badak yang dipindahkan nantinya dapat bertahan hidup dan mampu melakukan reproduksi di tempat baru.
- Diperlukan suatu metode yang tepat mengenai bagaimana badak akan ditangkap dan dipindahkan. Apakah dijerat atau harus dengan obat bius karena kedua-duanya berisiko pada kematian badak. Hal ini terkait dengan sifatnya yang sangat sensitif.
- Proses pemindahan badak dari Ujung Kulon ke lokasi baru juga masih perlu dikaji. Apakah badak akan tahan dibawa melalui jalan darat atau harus melalui udara. Karena badak tersebut badak liar maka tentu harus dihindari perubahan perlakukan yang mendadak agar badak tidak mengalami stress. Bila translokasi jadi dilaksanakan, langkah yang terbaik adalah melalui jalur udara. Selain lebih tepat karena kondisi alam Indonesia yang berupa hutan lebat, juga lebih cepat sehingga badak tidak terlalu lama tersiksa.
- Kajian yang tidak kalah penting adalah mengenai kondisi sosial budaya masyarakat sekitar sasaran translokasi. Jangan sampai kegiatan masyarakat setempat nantinya mengganggu keberadaan satwa langka baru di tempat mereka.
PEMBANGUNAN STASIUN RISET BADAK
Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK) mengupayakan penelitian lebih lanjut terhadap badak Jawa melalui pembangunan stasiun riset. (www.kompas.com/ kompas-cetak/ 0505/ 02/ humaniora/ 1723784.htm). Selama ini, riset-riset mengenai badak Jawa yang membutuhkan proses di laboratorium selalu dibawa ke luar Indonesia.
Pembangunan stasiun tersebut ditujukan untuk mengumpulkan data selengkap mungkin mengenai badak Jawa yang terancam punah karena persoalan yang belum diketahui secara pasti penyebabnya.
Berhubung masih terdapat banyak hal yang perlu dikaji yang mendukung proyek translokasi, maka keberadaan stasiun ini dapat menjadi solusi untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun usaha pemabangunan stasiun riset ini perlu segera dilaksanakan mengingat waktu yang kian mendesak dimana alam sebagai ancaman yang serius terhadap eksistensi badak Jawa, sewaktu-waktu dapat mengancam proyek konservasi badak satu-satunya di Taman Nasional Ujung Kulon.
DAFTAR PUSTAKA
- Afiff, Suraya A., 1991. Membangun gerakan partisipasi masyarakat dalam pelestarian Badak Jawa. Dalam: Seminar sehari Pelestarian Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), Darmaga 8 Juni 1991. 6 hal
- Antara, 1997. Hasil Sensus 1997: Badak Jawa Diperkirakan tinggal 58 ekor. Antara 29 Maret: 862
- Departemen Kehutanan Republik Indonesia, ”Taman Nasinal Ujung Kulon”, dalam www.dephut.go.id
- Harian Kompas, 2005, ”Digagas, Stasiun Riset Badak Jawa”, www.kompas.com/ kompas-cetak/ 0505/ 02/ humaniora/ 1723784.htm
- Harian Pikiran Rakyat, 2003, ”Populasi Badak Terancam, jumlah Banteng Bertambah”, www.pikiran-rakyat.com/ cetak/ 0103/ 17/01.htm
- International Rhino Foundation (IRF), 2001, “Rhino Information, Javan Rhino”, dalam www.rhinos-irf.org
- MH Samsul Hadi, 2004, ”Taman Nasional Ujung Kulon, Banten, Warisan Dunia Yang Terancam Eksploitasi”, dalam www.kompas.com/ kompas-cetak/ 0408/02/ daerah/ 118513.htm
- Nico van Strien, ”Javan Rhinocheros”, dalam www.biaza.org.uk/public/images/ campaigns/rhinoDocs/javanRhino.pdf.
- Nur Hidayat, Sugiyanto, dan Adi Rahadyan, 2003, ”Terjerat Si Muka Badak”, GATRA, Edisi 28 Beredar Senin, 26 Mei 2003, dalam www.gatra.com
- Strategi Konservasi Badak Indonesia, Dirjen PHPA Dephut RI, (1994), Pertumbuhan Populasi Badak Jawa Di Semenanjung Ujung Kulon, Dari Data Hasil Sensus Tahun 1967-1963, dalam www.dephut.go.id/INFORMASI/PHPA/PHKA/badak/67-93.htm
- Sulung Prasetyo, 2006, “Menyelamatkan Badak Bukan Perkara Mudah”, dalam www.sinarharapan.co.id/hiburan/index.html
- The Free Dictionary by Farlex, ”Javan Rhinocheros”, dalam www. encyclopedia. thefreedictionary.com
- WWF-Indonesia, 2006, ”Badak Jawa (Rhinocheros Sondaicus)” dalam www.wwf.or.id
- Harian Kompas, 2005, “Dijajaki Untuk Translokasi”, dalam www.kompas.co.id/ kompas-cetak/0511/24/humaniora/
- Prachmatika dan Andri Rostita Dewi, 1999, ”Badak (Rhinocheros)”, dalam http://www.manggala.or.id/publications/mediainfo/edaran%5CEdr_1999%5CV15N0399.PDF.