Lakum dinukum wa liya diin (untukmu agamamu dan untukku agamaku).(QS Al Kafirun-109 : 6)
Dalam Tafsir Al Qurthubi disebutkan sebab musabab turunnya Surat Al Kafirun ini. Suatu ketika, beberapa orang kafir Quraisy yaitu Al Walid bin Mughirah, Al ‘Ash bin Wail, Al Aswad Ibnul Muthollib, dan Umayyah bin Khalaf menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menawarkan kerjasama toleransi yang kebablasan kepada Rasulullah. Mereka berkata:
“Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.”
Kemudian turunlah ayat-ayat Surat Al Kafirun berikut yang menolak keras tawaran toleransi kebablasan tersebut,
“Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 1-6).
Untuk itu, toleransi seharusnya dimaknai sebagai sikap mengakui dan menghargai eksistensi keberagaman agama-agama dalam kehidupan sosial termasuk peribadatannya yang khusus. Bukan saling mengamalkan ajaran atau peribadatan antar agama. Selanjutnya, agama dan kaidah-kaidahnya harus menjadi hak pilihan masing-masing individu, dan tidak ada pemaksaan di dalamnya.
Bagi kaum Muslimin, memang diwajibkan untuk menghargai kelompok non-muslim dan agama yang dianutnya. Kaum Muslimin dilarang untuk memaksa kaum non-muslim untuk memeluk Islam sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 256 sebagai berikut:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); (QS. AL Baqarah : 256)
Kaum Muslimin juga diperintahkan untuk memberi kebebasan kepada pemeluk agama non-muslim untuk menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinannya dan tidak mengganggu dan mengusik ketenangan kegiatan peribadatan mereka. Bahkan kaum Muslimin diperintahkan bersikap adil serta melindungi kaum non-muslim yang tidak memerangi kaum muslimin (kafir dzimmi).
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahah: 8)
“Ketahuilah bahwa barangsiapa membunuh jiwa yang terikat dengan dzimmah (perlindungan) dari Allah dan Rasul-Nya berarti ia telah membatalkan dzimmah Allah, dan tidak akan mencium wangi surga. Dan sungguh harum wangi surga itu telah tercium dari jarak tujuh puluh tahun perjalanan.” (HR. Tirmidzi no. 1403)
Salah satu contoh bentuk toleransi umat Islam adalah ketika Umar bin Khattab radhiallahu’anhu dan pasukan Muslimin berhasil membebaskan dan menaklukkan Yerussalem Palestina. Amirul Mukminin, Umar bin Khattab, menjamin warga Palestina untuk tetap bebas memeluk agama masing-masing. Umar tidak memaksakan mereka memeluk agama Islam dan juga tidak menghalangi mereka untuk beribadah, selama mereka tetap membayar pajak kepada pemerintah Muslim. Umar bin Khattab juga memberikan kebebasan dan memberikan hak-hak hukum dan perlindungan yang adil kepada seluruh penduduk Yerussalem, baik yang Muslim maupun yang non-muslim.
Penting untuk dicermati, toleransi tidak boleh dimaknai sebagai upaya mencampuradukkan keyakinan, ritual ibadah, tradisi dan simbol-simbol antar agama-agama. Agama tidak boleh ditarik ke dalam rana universalitas dimana batasan-bataasan khusus masing-masing agama dihilangkan. Hal ini berarti menghancurkan sendi-sendi agama yang memang harus bersifat ekslusif untuk setiap pemeluknya.
Toleransi hendaknya dilandaskan pada pengakuan terhadap keberagaman (pluralitas), bukan dibasiskan pada pengakuan ideologi semua agama adalah sama dan benar (pluralisme). Menganut suatu agama berarti mengakui dan memahami bahwa agama yang sedang dianutnya itulah yang benar dan agama-agama yang lain salah. Konsep ini kemudian harus dibingkai dalam kehidupan antar umat beragama yang saling bertoleransi, saling menghargai pilihan agama masing-masing, saling menghormati, saling berbuat baik, dan bersikap adil serta amanah.
Dengan demikian, seorang muslim tidak dibenarkan melakukan kegiatan toleransi secara kebablasan. Misalkan dengan meyakini hal-hal yang ada dalam keyakinan agama lain, melakukan ritual ibadah agama lain, ikut serta meramaikan tradisi agama lain, urun rembuk mensukseskan perayaan hari besar agama lain dan mengenakan simbol-simbol serta atribut-atribut agama lain. Sikap ini adalah kewajiban yang bersumber dari Al Quran dan Al Hadis. Jika seorang Muslim melakukan hal-hal seperti itu, maka akan berdampak serius pada pengurangan kadar akidah seorang muslim.
Telah jelas hukumnya berdasarkan kesepakatan Ulama terdahulu mengenai sikap kaum Muslimin terhadap kegiatan-kegiatan agama kaum non-muslim dimana hal ini dirumuskan dari Al Quran dan As Sunnah. Misalnya dalam permasalahan ucapan selamat berhari raya kepada non-muslim. Ijma’ (kesepakatan Ulama) haramnya mengucapkan selamat pada hari raya non-muslim terdapat dalam perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah berikut ini:
“Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang non-muslim (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.”
Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” (Ahkam Ahli Dzimmah, 1 : 441)
Asy-Syarbini (wafat 977 H) -rahimahullah-, salah seorang ulama besar Madzhab Syafi’i mengatakan:
“Dan diberi hukuman ta’zir (ta'zir : hukuman yang diputuskan hakim untuk memberi efek jera bagi pelaku pelanggar syariat) seseorang yang mengikuti orang-orang kafir dalam merayakan hari raya mereka. Begitu pula orang yang memberikan ucapan selamat kepada seorang kafir dzimmi di hari rayanya” (Mughnil Muhtaj, Asy-Syarbini, 5/526).
Hal senada juga disebutkan dalam banyak kitab syafi’iyyah lainnya, diantaranya: Al-Iqna’ fi halli Alfazhi Abi Syuja’ (2/526), Asnal Matholib (4/162), Tuhfatul Muhtaj (9/181), Hasyiata Qolyubi wa Amiroh (4/206), Annajmul Wahhaj (9/244).
Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata:
“Jauhilah orang-orang kafir saat hari raya mereka”.
Perkataan Umar bin Khattab ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di dalam judul bab "Terlarangnya menemui orang kafir dzimmi di gereja mereka dan larangan menyerupai mereka pada hari Nairuz dan perayaan mereka" dengan sanadnya dari Bukhari, penulis kitab Sahih Bukhari, dengan jalur periwayatan sampai kepada Umar. Nairuz adalah hari raya orang-orang qibthi yang tinggal di Mesir. Nairuz adalah tahun baru dalam penanggalan orang-orang qibthi. Hari ini disebut juga Syamm an Nasim. Jika kita diperintahkan untuk menjauhi hari raya orang kafir dan dilarang mengadakan perayaan hari raya mereka lalu bagaimana mungkin diperbolehkan untuk mengucapkan selamat hari raya kepada mereka.
Al Hafiz Ibnu Hajar merumuskan fatwanya setelah menyebutkan hadits dari Anas. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata, “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr)” (HR. Ahmad 3: 178, sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
Ibnu Hajar lantas mengatakan, “Bisa disimpulkan dari hadits tersebut larangan merasa gembira saat hari raya orang musyrik dan larangan menyerupai orang musyrik ketika itu. Bahkan Syaikh Abu Hafsh Al Kabir An Nasafi, seorang ulama mazhab Hanafi sampai bersikap keras dalam masalah ini dengan mengatakan, ‘Siapa yang menghadiahkan sebutir telur kepada orang musyrik pada hari itu karena mengagungkan hari tersebut maka dia telah kafir kepada Allah” (Fathul Bari, 2: 442).
Terdapat juga Hadis dari periwayatan Adi bin Hatim.
Saya mendatangi Rasulullah dengan mengenakan kalung salib dari perak di leherku. Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Adi, lepaskanlah patung itu dari lehermu.” Kemudian saya melepaskannya”. (HR ath-Thabrani dari Adi Bin Hatim).
‘Adi bin Hatim dulunya adalah seorang Nasrani yang kemudian memeluk Islam. Pada saat menghadap Rasulullah masih ada bekas-bekas kebiasaan mengenakan atribut agamanya yang lama dimana mengenai hal ini Beliau mungkin belum mendapatkan ilmu dari Rasulullah. Wajar ketika itu beliau masih menggunakan kalung salib. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya melepas simbol agama Nasrani tersebut.
Mengenai akidah umat Islam yang seperti ini, kaum non-muslim haruslah bisa memahaminya. Menjalankan ajaran dan perintah agama adalah hak setiap penganutnya. Kaum non-muslim harus menyikapinya dengan sikap toleransi, saling menghargai, dan saling menghormati, khususnya mengenai kekhususan tata cara Islam dalam berinteraksi sosial dengan non-muslim.
Begitu pula sebaliknya, kaum Muslimin juga haruslah tidak memaksa kaum non-muslim untuk ikut serta dalam peribadatan kaum Muslimin. Atau bahkan memaksa mereka untuk mengenakan simbol-simbol dan atribut-atribut Islam. Ini tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.
Sekalipun dewasa ini berseliweran pendapat dari sejumlah tokoh yang membolehkan ucapan selamat berhari raya kepada non-muslim, maka umat Islam harus selalu mampu menyikapi perselisihan ini dengan benar. Caranya adalah dengan mengembalikan setiap perselisihan kapada Al Quran dan As Sunnah untuk dicari pemecahannya. Tentunya di dalam Al Quran dan As Sunnah telah ada ketentuan mengenai hal ini dimana kemudian para Ulama terdahulu telah mengeluarkan fatwa-fatwa yang bahkan telah menjadi ijma' (kesepakatan para ulama) seperti telah disebutkan beberapa fatwa di atas. Hal ini tentunya lebih wajib untuk diikuti.
Dr. Sholih Al Fauzan berkata dalam fatwanya, "Hal-hal yang sudah terdapat ijma’ para ulama terdahulu tidak boleh diselisihi bahkan wajib berdalil dengannya. Adapun masalah-masalah yang belum ada ijma’ sebelumnya maka ulama zaman sekarang dapat ber-ijtihad dalam hal tersebut."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan beri komentar barupa kritik dan saran yang membangun demi kemajuan blog saya ini. Jangan malu - malu!